Selasa, 26 Juni 2012

INFO KAJIAN BERSAMA ULAMA AHLUS SUNNAH KERAJAAN SAUDI ARABIA

Bismillah...

Kabar Gembira Kesempatan bertemu & mengambil ilmu dari Ulama Ahlus Sunnah

Dengan mengharap Ridho Alloh Subhanahu wata'ala

Hadirilah Kajian Ilmiah Islamiyah InsyaaAlloh bersama :
Asy Syaikh Al 'Allamah 'Ubaid bin 'Abdillah Al Jabiry (Ulama' Ahlus Sunnah dari Madinah, Saudi Arabia)

Tema : "Kembali Kepada Al Qur'an dan As Sunnah Dengan Pemahaman Salaful Ummah, Solusi Terbaik Untuk Ummat & Pemerintah Muslim"

Waktu : Ahad, 11 Sya'ban 1433 H (Minggu, 1 Juli 2012) pkl. 08.00 sd 11.30 wib

Tempat : Masjid Agung Al Amjad (Komplek Pemda Kabupaten Tangerang)

Bisa jg mengikuti via steaming di http://addiinradio.blogspot.com/ dan paltalk room Kajian Ilmiah Ahlussunnah Wal Jama'ah

Info lebih lengkap bisa hub.
Abu Hammam 081281704086
Abu Dawud 0818798450
Abu Lutfan 08158487248
Abu Husain 0818118912

SYARAH HADITS ARBAIN (Hadits Ke 3)

Hadits Ke 3


عَنْ اَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ : بُنِيَ الْاِسْلَامُ عَلَي خَمْسٍ : شَهَادَةِ اَنْ لَا اِلَهَ اِلّا اللّهُ وَ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللَّهِ وَ اِقَامِ الصّلَاةِ وَ اِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَ حَجِّ الْبَيْتِ وَ صَوْمِ رَمَضانَ (رواه البخاري و مسلم)


Dari Abu Abdirrohman Abdulloh bin Umar bin Khoththob rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata “Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: ’Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu: Bersaksi tiada sesembahan yang haq kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh, menegakkan sholat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitulloh, dan berpuasa pada bulan Romadhon.”(HR.Bukhori dan Muslim)

Syarah (penjelasan hadits)

Sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Islam dibangun di atas lima perkara". Hal ini menerangkan tentang keagungan lima perkara ini, dan menunjukkan bahwa Islam dibangun di atas lima perkara ini. ini merupakan penyerupaan secara maknawi dengan bangunan yang bersifat konkrit. Sebagaimana bangunan tidak bisa tegak kecuali di atas tiang-tiangnya, maka demikian pula Islam hanya tegak di atas lima perkara ini. Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam hanya menyebut lima perkara ini karena semuanya merupakan asas bagi perkara-perkara yang lainnya. Ada pun perkara-perkara lainnya akan mengikuti lima perkara ini.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullaah menyebutkan hadits ini setelah hadits Jibril yang mencakup lima perkara ini, sebab hadits ini menerangkan betapa pentingnya kelima perkara ini. Bahwa kelima perkara ini merupakan asas yang dibangun di atasnya agama Islam. Sehingga dalam hadits ini terdapat makna tambahan bagi hadits Jibril.

Kelima rukun yang menjadi pondasi agama Islam ini, yang pertama adalah dua kalimah Syahadah yang merupakan asas yang paling pokok (ushul). Rukun-rukun lainnya dan perkara-perkara lainnya mengikuti rukun ini (Syahadah). Rukun-rukun tersebut dan amal-amal yang lainnya tidaklah akan bermanfaat jika tidak didasari oleh dua kalimah Syahadah ini. Kedua kalimah ini saling berkaitan satu sama lain. Syahadah Muhammad Rasulullaah harus diikuti dengan syahadah Laa Ilaaha Illallaah. Konsekwensi dari syahadah Laa ilaaha illallaah adalah beribadah hanya kepada Allaah semata. Dan konsekwensi dari syahadah Muhammad rasulullaah adalah beribadah harus dengan mengikuti syariat Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Kedua asas ini harus ada dalam setiap amal yang dikerjakan oleh seorang manusia (hamba). Maka dia harus memurnikan keikhlasan hanya kepada Allaah semata dan memurnikan ittiba' hanya kepada Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullaah berkata : "Jika ada yang bertanya mengapa tidak disebutkan iman kepada Nabi, Malaikat dan lainnya yang dicakup oleh pertanyaan Jibril 'alaihis salaam? Maka jawabannya adalah : "Makna syahadah adalah membenarkan Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam setiap perkara yang dibawa oleh beliau. Sehingga mencakup semua apa yang beliau sebutkan berupa keyakinan. Al-Isma'ili berkata yang kesimpulannya : Ini termasuk menyebut sesuatu dengan hanya menyebut sebagiannya saja. Sebagaimana engkau mengatakan : "Aku membaca Al-Hamd", maka maksudnya adalah membaca surat Al-Fatihah secara keseluruhan. Demikian juga jika engkau mengatakan : "Aku mempersaksikan kerasulan Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam", maka maknanya adalah engkau mempersaksikan (mengimani) seluruh apa yang telah beliau sebutkan. Wallaahu 'alam (Al-Fath I/50).

Rukun Islam yang paling penting setelah dua kalimah syahadah adalah shalat. Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mensifatinya sebagai tiang dari agama Islam. Sebagaimana telah disebutkan dalam sebuah hadits tentang wasiat beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam kepada Mua'dz bin Jabal radhiyallaahu 'anhu yang merupakan hadits ke dua puluh sembilan dari Hadits Arbain ini. Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam pun meberitakan bahwa shalat merupalkan perkara agama yang akan hilang. Dan perkara pertama yang akan dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat. Silakan merujuk kepada kitab Silsilah Hadits Ash-Shahihah karya Al-Imam Al-Albani rahimahullah no. 1739, 1358 dan 1748. Dengan shalat pula bisa dibedakan antara seorang muslim dan kafir. (Diriwayatkan Muslim no. 134)

Mendirikan shalat ada dua keadaan : Pertama : Wajib, yaitu menunaikannya minimal sesuai dengan tata cara yang diwajibkan sehingga dia dianggap telah menjalankan kewajiban.
Kedua : Mustahab, yaitu menyempurnakannya dengan melakukan segala hal yang dimustahabkan di dalam shalat.

Zakat merupakan gandengan dari shalat yang dijelaskan di dalam Kitabullaah dan Sunnah Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana Firman Allaah Ta'ala :
فَاِنَّ تَابُوْا وَ اَقَامُوْا الصَّلَوةَ وَ ءَاتُوا الزَّكَوةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْ

"Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat, menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan" (QS. At-Taubah : 5)

Dan Firman Allaah Ta'ala :

فَاِنَّ تَابُوْا وَ اَقَامُوْا الصَّلَوةَ وَ ءَاتُوا الزَّكَوةَ فَاِخْوَانُكُمْ فِي الدِّيْنِ

"Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat, menunaikan zakat, Maka mereka itu adalah saudara-saudaramu seagama.." (QS. At-Taubah : 11)

Dan firman Allaah Ta'ala :

وَ مَا اُمِرُوْا اِلّا لِيَعْبُدُوْا اللّهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ وَ يُقِيْمُوْا الصَّلوةَ وَ يُوتُوا الزَّكَوةَ وَ ذَلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ

"Padahal mereka tidak diperintah kecuali agar mereka menyembah Allaah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan agar mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. Al-Bayyinah : 5)

Zakat adalah ibadah yang bersifat materi yang manfaatnya menyebar (tidak terbatas hanya untuk pelakunya saja). Allaah telah mewajibkan zakat pada harta orang-orang kaya dengan sifat yang menguntungkan bagi orang-orang miskin namun tidak merugikan orang kaya. Sebab zakat hanya berupa sejumlah kecil dari harta yang banyak.

Puasa Ramadhan adalah merupakan ibadah fisik. Puasa merupakan rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya, tidak ada yang melihatnya kecuali Allaah Ta'ala. Sebab diantara manusia ada yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan namun orang lain menganggapnya berpuasa. Bisa jadi pula seseorang melakukan puasa Sunnah dan orang lain menyangka dia tidak berpuasa. Karena itulah datang dalam sebuah hadits yang shahih bahwa seorang hamba akan diberikan balasan atas amalnya, satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat. Kemudian Allaah Ta'ala berfirman :

"Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa adalah milik-Ku. Aku yang akan membalasnya." (HR. Al-Bukhari 1894 dan Muslim 194)

Semua amal adalah untuk Allaah. Sebagaimana Allaah Ta'ala telah berfirman :

"Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allaah, Robb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang-orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allaah)." (QS. Al-An'am : 162-163)

Namun dikhususkannya puasa di dalam hadits ini sebagai milik Allaah karena tersembunyinya ibadah ini, tidak ada yang melihatnya kecuali Allaah.

Haji ke Baitullaah adalah ibadah materi dan fisik. Allaah mewajibkan ibadah ini sekali dalam seumur hidup. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan keutamaan beribadah haji di dalam sabdanya :

مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَ لَمْ يَفسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ اُمُّهُ

"Barangsiapa yang berhaji menuju Baitullaah ini, tidak melakukan rafats (jima, dan hal-hal yang menuju ke sana) dan tidak berbuat fasiq, maka dia pulang seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya." (HR. Bukhari 1820 dan Muslim 1350)

Demikian juga beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الْعُمْرَةُ الَي الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَ الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ اِلّا الْجَنَّةُ

"Umrah yang satu ke umrah yang lainnya merupakan kaffarah (penghapus) bagi dosa yang ada diantara keduanya. Dan hajji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga." (HR. Muslim no. 1349)

Hadits ini dalam redaksinya mendahulukan hajji sebelum puasa. Hadits dengan redaksi seperti ini disebutkan oleh Bukhari di awal Kitabul Iman dalam Shahihnya. Hadits ini dijadikan sebagai dasar bagi susunan kitabnya Al-Jami'ush shahih. Sehingga beliau mendahulukan Kitabul Hajj (pembahasan tentang hajji) sebelum Kitabush Shiyyam (pembahasan tentang puasa).

Telah datang dalam Shahih Muslim no. 19 hadits yang mendahulukan puasa sebelum hajji dan hajji sebelum puasa. Di jalur periwayatan yang pertama terdapat penegasan dari Ibnu Umar radhiyallaahu 'anhumaa bahwa yang dia dengar dari Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah penyebutan puasa terlebih dahulu sebelum hajji. Berdasarkan hal ini didahulukannya penyebutan hajji sebelum puasa di sebagian riwayat termasuk kategori perubahan yang dilakukan rawi atau periwayatan secara makna (tidak kontekstual). Redaksinya pada Shahih Muslim dari Ibnu Umar dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda :

بُنِيَ الْاِسلاَمُ علَي خَمْسَةٍ : عَلَي اَنْ يُوَحَّدَ اللّهُ وَ اِقَامِ الصَّلَاةِ وَ اِيْتَاء الزَّكَاةِ وَ صِيَامِ رَمَضَانَ وَ الْحَجِّ

"Islam dibangun di atas lima perkara : Di atas ketauhidan kepada Allaah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan berhajji."

Seorang laki-laki berkata (kepada Ibnu Umar) : "Hajji dan puasa Ramadhan?" Beliau menjawab : "Tidak, puasa Ramadhan dan Hajji. Demikianlah aku memndengarnya dari Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Kelima rukun ini disebutkan secara berurutan sesuai dengan urgensinya masing-masing. Dimulai dengan dua kalimah syahadah yang merupakan asas bagi setiap amal yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allaah Ta'ala. Kemudian shalat yang dilakukan berulang-ulang sebanyak lima kali sehari semalam. Sehingga shalat merupakan hubungan kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya. Kemudian zakat yang wajib dikeluarkan dari harta jika telah berlalu satu tahun, sebab manfaatnya bisa menyebar. Kemudian puasa yang wajib dalam satu bulan dalam satu tahun, merupakan ibadah fisik yang manfaatnya hanya bersifat pribadi. Kemudian Hajji yang wajib sekali dalam seumur hidup.

Di dalam Shahih Muslim terdapat riwayat bahwa Ibnu Umar radhiyallaahu 'anhumaa menyampaikan hadits ini ketika beliau ditanya seorang laki-laki, dia berkata kepadanya : "Tidakkah engkau berperang?" Kemudian beliau menyebutkan hadits ini. Di dalamnya terdapat isyarat bahwa jihad bukan termasuk dari rukun Islam. Sebab kelima perkara ini lazim dan kontinyu bagi setiap mukallaf. Berbeda dengan jihad, yang merupakan fardhu kifayah dan tidak setiap waktu.

Di antara kandungan hadits ini adalah :

1. Penjelasan urgensi kelima perkara ini karena menjadi pondasi bangunan Islam.

2. Menyerupakan sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang konkrit agar lebih mengena dalam fikiran.

3. Memulai dengan yang paling penting.

4. Dua kalimah syahadah merupakan asas pada dua kalimah itu sendiri dan merupakan asas bagi yang lainnya. Sehingga sebuah amal tidak diterima kecuali dibangun di atas keduanya.

5. Mendahulukan shalat atas amal yang lainnya, karena merupakan penghubung yang kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya.

Wallaahu 'alam

Sumber : فَتْحُ الْقَوِيِّ الْمَتِيْنِ فِيْ شَرْحِ اْلارْبَعِيْنَ وَ تَتِمَّةِ الْخَمْسِيْنَ لِلنَّوَوَيِّ وَابْنِ رَجَبَ رَحِمَهُمَا اللّهُ

للشّيخ عبد المحسن بن حمد العبّد البدر حفظه اللّه

(Oleh : Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-'Abbad Al-Badr hafidzhahullaah)

SYARAH HADITS ARBAIN

Hadits Ke 2


عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال : بينما نحن جلوس عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم إذ طلع علينا رجل شديد بياض الثياب شديد سواد الشعر , لا يرى عليه أثر السفر , ولا يعرفه منا أحد حتى جلس إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأسند ركبته إلى ركبتيه ووضح كفيه على فخذيه

وقال : يا محمد أخبرني عن الإسلام

فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا

قال : صدقت فعجبا له يسأله ويصدقه

قال : أخبرني عن الإيمان

قال : أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره

قال : صدقت

قال : فأخبرني عن الإحسان

قال : أن تعبد الله كأنك تراه , فإن لم تكن تراه فإنه يراك

قال : فأخبرني عن الساعة

قال : ما المسئول بأعلم من السائل

قال : فأخبرني عن اماراتها

قال : أن تلد الأمة ربتها وأن ترى الحفاة العراة العالة رعاء الشاء يتطاولون في البنيان

ثم انطلق فلبث مليا

ثم قال :  يا عمر , أتدري من السائل ؟

قلت : الله ورسوله أعلم

قال : فإنه جبريل أتاكم يعلمكم دينكم –رواه مسلم

Dari Umar rodhiyallohu’anhu juga, beliau berkata: Pada suatu hari ketika kami duduk di dekat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Pada dirinya tidak tampak bekas dari perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Kemudian ia duduk di hadapan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, lalu mendempetkan kedua lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya, kemudian berkata:

”Wahai Muhammad, terangkanlah kepadaku tentang Islam.”

Kemudian Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam menjawab: ”Islam yaitu: hendaklah engkau bersaksi tiada sesembahan yang haq disembah kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh. Hendaklah engkau mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Romadhon, dan mengerjakan haji ke rumah Alloh jika engkau mampu mengerjakannya.” Orang itu berkata: ”Engkau benar.” Kami menjadi heran, karena dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkannya.

Orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang iman”.

(Rosululloh) menjawab: ”Hendaklah engkau beriman kepada Alloh, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir, dan hendaklah engkau beriman kepada taqdir yang baik dan yang buruk.”Orang tadi berkata: ”Engkau benar.”

Lalu orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang ihsan.”

(Beliau) menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.”

Orang itu berkata lagi: ”Beritahukanlah kepadaku tentang hari kiamat.”

(Beliau) mejawab: “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.”

Orang itu selanjutnya berkata: ”Beritahukanlah kepadaku tanda-tandanya.”

(Beliau) menjawab: ”Apabila budak melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan.”

Kemudian orang itu pergi, sedangkan aku tetap tinggal beberapa saat lamanya. Lalu Nabi shollallohu ’alaihi wasallam bersabda: ”Wahai Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu ?”. Aku menjawab: ”Alloh dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui.” Lalu beliau bersabda: ”Dia itu adalah malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim).

Takhrij Hadits

Hadits ini secara lengkap diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 8, dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (I/27,28,51,52), Abu Dawud (no. 4695), at Tirmidzi (no.2610), an Nasaa-i (VIII/97), Ibnu Majah (no. 63), Ibnu Mandah dalam al Iman (1,14), ath Thoyalisi (no. 21), Ibnu Hibban (168,173), al Aajurri dalam asy Syari’ah (II/no.205, 206, 207, 208), Abu Ya’la (242), al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no.2), al Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalat (no.363-367), ‘Abdullah bin Ahmad dalam as Sunnah (no.901,908), al Bukhari dalam Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (190), Ibnu Khuzaimah (no.2504) dari sahabat Ibnu ‘Umar dari bapaknya ‘Umar bin Khaththab.

Hadits ini mempunyai syawahid (penguat) dari lima orang sahabat. Mereka disebutkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul Baari (I/115-116), yaitu :
- Abu Dzar al Ghifari (HR Abu Dawud dan Nasaa-i).
- Ibnu ‘Umar (HR Ahmad, Thabrani, Abu Nu’aim).
- Anas (HR Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibaad).
- Jarir bin ‘Abdullah al Bajali (HR Abu ‘Awanah).
- Ibnu ‘Abbas dan Abu Amir al ‘Asy’ari (HR Ahmad, sanadnya hasan)

Kedudukan Hadits

Materi hadits ke-2 ini sangat penting sehingga sebagian ulama menyebutnya sebagai “Induk sunnah”, karena seluruh sunnah berpulang kepada hadits ini.

Al-Qadhi ‘Iyadh berkata : “Hadits ini mencakup penjelasan seluruh amal ibadah, baik yang zhahir maupun yang bathin. Diantaranya adalah ikatan iman, pekerjaan anggota badan, keikhlasan dan menjaga diri dari perusak-perusak amal. Bahkan ilmu-ilmu syari’at semuanya kembali kepada hadits ini dan merupakan cabangnya”

Imam An-Nawawi berkata : “Ketahuilah, bahwa hadits ini menghimpun berbagai macam ilmu, pengetahuan, adab dan kelemah-lembutan. Bahkan hadits ini merupakan pokoknya Islam sebagaimana yang telah kami riwayatkan dari Al-Qadhi ‘Iyadh”

Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata “Hadits ini seakan menjadi induk bagi sunnah, sebagaimana Al-Fatihah dinamakan Ummul Qur’an karena ia mencakup seluruh nilai-nilai yang ada di dalam Al-Qur’an”

Imam Ibnu Rajab berkata : “Hadits ini merupakan hadits yang agung mencakup seluruh penjelasan agama.  Karenanya, Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda di akhir hadits : ‘Sesungguhnya ia adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan tentang agama kalian,’ setelah menjelaskan kedudukan Islam, kedudukan Iman, dan kedudukan Ihsan. Dan menjadikan semua itua gama”

Faidah dari Riwayat Hadits Ini Dalam Shahih Muslim

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Yahya bin Ya’mur,

عن يحيى بن يعمر؛ قال : كان أول من قال في القدر بالبصرة معبد الجهني. فانطلقت أنا وحميد بن عبدالرحمن الحميري حاجين أو معتمرين فقلنا: لو لقينا أحد من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم فسألناه عما يقول هؤلاء في القدر. فوفق لنا عبدالله بن عمر بن الخطاب داخلا المسجد. فاكتنفته أنا وصاحبي. أحدنا عن يمينه والأخر عن شماله. فظننت أن صاحبي سيكل الكلام إلي. فقلت: أبا عبدالرحمن! إنه قد ظهر قبلنا ناس يقرؤون القرآن ويتقفرون العلم. وذكر من شأنهم وأنهم يزعمون أن لا قدر. وأن الأمر أنف. قال: فإذا لقيت أولئك فأخبرهم أني بريء منهم، وأنهم برآء مني. والذي يحلف به عبدالله بن عمر! لو أن لأحدهم مثل أحد ذهبا فأنفقه، ما قبل الله منه حتى يؤمن بالقدر. ثم قال: حدثني أبي عمر بن الخطاب

Dari Yahya bin Ya’mur dia berkata, “Dahulu yang pertama kali berbicara tentang qadar di bashrah adalah Ma’bad Al-Juhani, maka aku (Yahya bin Ya’mur) berangkat bersama Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari untuk melaksanakan haji atau umrah. Kami berkata : ” Jika kami bertemu salah seorang dari Shahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka kami akan bertanya kepadanya tentang orang-orang yang berbicara masalah qadar. Kemudian kami melihat Abdullah bin Umar masuk kedalam masjid, maka aku dan sahabatku menggandeng tangannya satu di kanan yang lain di kiri. Aku mengira sahabatku menyerahkan pembicaraan kepadaku, maka aku berkata : ‘Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul dikalangan kami orang yang membaca Al-Qur’an dan menuntut ilmu -lalu ia menyebutkan perkara mereka- dan mereka beranggapan bahwa takdir tidak ada, sesungguhnya ini adalah perkara yang baru.’ Ibnu Umar berkata : ‘ Jika engkau bertemu dengan mereka, maka beritahukan bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka dan mereka juga berlepas diri dariku. Demi Allah, seandainya salah seorang dari mereka menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, sungguh Allah tidak akan menerimanya hingga ia beriman kepada Qadar.’ Kemudian Ibnu Umar melanjutkan : ‘Ayahku -Umar bin Khattab-  menceritakan kepadaku …’ lalu ia menyebutkan hadits di atas.

Ada kisah lain yang semisal dengan ini dalam Shahih Muslim,  dari Yazid Al-Faqir dia berkata :

كنت قد شغفني رأي من رأي الخوارج فخرجنا في عصابة ذوي عدد نريد أن نحج ثم نخرج على الناس قال فمررنا على المدينة فإذا جابر بن عبد الله يحدث القوم جالس إلى سارية عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإذا هو قد ذكر الجهنميين قال فقلت له يا صاحب رسول الله ما هذا الذي تحدثون والله يقول ” إنك من تدخل النار فقد أخزيته ” و ” كلما أرادوا أن يخرجوا منها أعيدوا فيها ” فما هذا الذي تقولون قال فقال أتقرأ القرآن قلت نعم قال فهل سمعت بمقام محمد عليه السلام يعني الذي يبعثه الله فيه قلت نعم قال فإنه مقام محمد صلى الله عليه وسلم المحمود الذي يخرج الله به من يخرج قال ثم نعت وضع الصراط ومر الناس عليه قال وأخاف أن لا أكون أحفظ ذاك قال غير أنه قد زعم أن قوما يخرجون من النار بعد أن يكونوا فيها قال يعني فيخرجون كأنهم عيدان السماسم قال فيدخلون نهرا من أنهار الجنة فيغتسلون فيه فيخرجون كأنهم القراطيس فرجعنا قلنا ويحكم أترون الشيخ يكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم فرجعنا فلا والله ما خرج منا غير رجل واحد أو كما قال أبو نعيم

“Saya pernah tertarik oleh suatu pendapat kaum khawarij, lalu kami keluar dalam satu kelompok yang berjumlah banyak, karena kami ingin melaksanakan ibadah haji kemudian kami keluar ke tengah orang banyak.” Yazid berkata, “Kemudian kami melewati kota Madinah. Tiba-tiba ada Jabir bin ‘Abdullah sedang membicarakan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada suatu kaum dengan duduk bersama satu kafilah.” Yazid berkata, “kemudian Jabir bin Abdillah menyebutkan tentang Jahannamiyyin (yakni, penghuni-penghuni jahannam yang dikeluarkan darinya kemudian dimasukkan ke Surga -admin).” Saya berkata kepada Jabir bin ‘Abdullah, “Wahai sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! apa yang kamu bicarakan ini? Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya orang yang engkau masukkan ke dalam neraka maka sungguh engkau telah hinakan dia.’(ali Imran:192) dan firmanNya lagi, ‘Setiap kali para penghuni neraka itu ingin keluar dari neraka maka mereka itu selalu dilemparkan kembali ke dalamnya.’(as Sajadah:20). Lalu apa yang kalian katakan itu?”

Jabir bertanya, “Sudahkah kamu membaca al Qur’an? Pernahkah kamu mendengar tentang kedudukan nabi Muhammad yang akan diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ? Saya menjawab, ‘ya sudah pernah’ Jabir berkata, “Itulah kedudukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, yang dengan itu Allah mengeluarkan orang dari neraka yang beliau kehendaki.”

Kemudian Jabir bin ‘Abdullah menjelaskan letak as Shirath dan bagaimana manusia melintas di atasnya. Hanya saja Jabir mengatakan bahwa ada satu kaum yang keluar dari neraka setelah mereka berada didalamnya. Yakni mereka keluar dengan jasad bagaikan biji kurma yang baru dijerang di matahari. Kemudian mereka masuk dalam salah satu telaga surga, kemudian mereka mandi dan keluar sebersih selembar kertas.

Kemudian kami pulang dan mengatakan, “Celakalah kamu sekalian! Apakah kalian menganggap seorang syaikh (Jabir bin Abdullah) membuat kebohongan terhadap Rasulullah?” maka kami terus pulang. Sungguh demi Allah tidaklah ada yang keluar dari kelompok kami kecuali hanya seorang. Demikianlah sebagaimana riwayat yang disampaikan oleh Abu Nu’aim”.

Abu Nu’aim adalah Fadl bin Dukain, beliau salah seorang perawi hadits ini [Syarah shahih muslim oleh Imam an Nawawi III/50-52]

Dari  dua kisah di atas, ada beberapa faidah penting yang dapat kita ambil :

1. Bid’ah pertama kali tentang peniadaan qadar, timbul di Bashrah pada masa sahabat yaitu ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau wafat tahun 73 H.

2. Para tabi’in selalu bertanya kepada para sahabat untuk mengetahui hukum dari perkara-perkara yang musykil, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah maupun yang lainnya. Hal ini adalah wajib atas setiap muslim untuk mengembalikan urusan agama mereka kepada para ulama. Firman Allah l :

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada ahludz dzikr (ahli ilmu/ ulama) jika kamu tidak mengetahui.” [an Nahl:43]

3. Disunnahkan bagi seluruh kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji dan umrah agar mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk mempelajari agama Islam dan memperdalamnya serta bertanya kepada para ulama yang ada di Mekkah dan Madinah untuk mengetahui hukum-hukum agama yang belum mereka ketahui. Sebagaimana yang dilakukan Yahya bin Ya’mur, Humaid bin ‘Abdurrahman al Himyari dan Yazid al Faqir.

4. Pemahaman Shahabat adalah hujjah yang dengannya seseorang dapat menghilangkan syubhat yang dilontarkan oleh para pengikut hawa nafsu.  Rombongan Yazid Al-Faqir datang untuk menunaikan ibadah haji mereka mempunyai pemahaman yang salah, yaitu orang-orang yang berbuat dosa besar tidak keluar dari neraka. Mereka membawakan ayat-ayat yang turun untuk orang kafir dikenakan kepada kaum Muslimin dan pemahaman ini adalah pemahaman Khawarij.

Ibnu ‘Umar memandang bahwa Khawarij adalah sejelek-jelek makhluk Allah, ia berkata “Mereka membawakan ayat-ayat yang turun kepada orang-orang kafir dikenakan kepada kaum mukminin.” [Fathul Baari XII/282]

5. Di dalam kisah ini menunjukkan bahwa syaithan menyesatkan manusia dengan dua cara; Pertama, orang-orang yang lalai dan berpaling dari keta’atan dihiasi dengan syahwat kedua, orang-orang yang taat dan ahli ibadah, syetan menyesatkan mereka dengan cara ghuluw (berlebih-lebihan) dan melemparkan syubhat kepada mereka. (syarah hadits jibril hal.12) Imam Ibnul Qayyim berkata bahwa hati manusia dirusak oleh fitnah syahwat dan fitnah syubhat.[Lihat Ighatsatul Lahafan min Makaidi asy Syaithan] Kedua fitnah ini sangat berbahaya bagi manusia.

Kandungan Hadits Jibril

Dari penjelasan tentang urgensi hadits ini, kita dapat mengambil faidah di antaranya :

1. Menunjukkan tentang pentingnya majelis ilmu.
Karena, itu setiap ulama dianjurkan mengadakan majelis ilmu yang ditentukan waktunya, setiap sepekan sekali atau dua kali, supaya mereka tidak bosan. [Hilyatul Ilmil Mu’allim wa Bulghatut Thalibil Muta’allim, hlm. 17-19.]

2. Memperbaiki pakaian dan penampilan.
Ketika hendak masuk masjid dan akan menghadiri majelis ilmu, disunnahkan memakai pakaian yang rapi, bersih dan memakai minyak wangi. Bersikap baik dan sopan di majelis ilmu dan di hadapan para ulama adalah perilaku yang sangat baik, karena Jibril saja datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penampilan dan sikap yang baik.

3. Islam
Secara etimologi, Islam berarti tunduk dan menyerah sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla. Adapun secara terminology, disebutkan :

الإِ سلامُ: اَلإِستِسلاَمُ للهِ بِالتَوحَيدِ وَاالإِنقِياَدُ لَهُ بِالطَّاعَةِ وَالبَرَاءَةُ مِنَ الشِّركِ وَأَهلِه

Islam adalah patuh dan tunduk kepada Allah dengan cara mentauhidkan, mentaati dan membebaskan diri dari kemusyrikan dan ahli syirik. [Syarh Tsalatsatil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, hlm. 68-69]

الإسلام والاستسلام , menurut bahasa artinya الإنقياد . Yaitu patuh dan tunduk. Sedangkan menurut syari’at, yaitu menampakkan ketundukan dan memperlihatkan syari’at serta berpegang teguh dengan yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan hal tersebut, terpelihara dan tercegahlah darah dari segala yang dibenci.

Dalam hadits di atas, kekasih Rabb semesta alam ‘alaihish shalatu wassalam mendefinisikan Islam dengan amalan-amalan anggota badan yang tampak. Yaitu berupa perkataan dan perbuatan. Mengucapkan dua kalimat syahadat adalah perbuatan lisan. Shalat dan puasa adalah perbuatan badan (tubuh). Zakat harta adalah amalan pada harta, dan haji adalah amalan pada badan dan harta.

Islam adalah agama yang dilandaskan atas lima dasar, yaitu :

Mengucapkan dua kalimat syahadat ( أشْهَدُ أن لاإِله إِلاَّالله وَأَشهَدُأَنَّ مُحَمَّدًارَسُولُ الله), artinya : Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan Aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam utusan Allah.

Menunaikan shalat wajib pada waktunya, dengan memenuhi syarat, rukun dan memperhatikan adab dan hal-hal yang sunnah.

Mengeluarkan zakat.

Puasa pada bulan Ramadhan.

Haji sekali seumur hidup bagi yang mampu, mempunyai biaya untuk pergi ke tanah suci dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.

4. Iman
Iman adalah at tashdiq, yaitu pengakuan dan pembenaran. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan iman dalam hadits ini sebagai keyakinan yang ada dalam batin. Dan Ahlus Sunnah berkeyakinan, iman adalah perkataan, perbuatan, dan niat (kehendak hati). Dan sesungguhnya, amal perbuatan termasuk ke dalam nama iman.

Di antara aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah bahwasanya amal termasuk ke dalam Iman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

Iman memiliki tujuh puluh cabang lebih. Yang paling utama ialah ucapan Laa ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu termasuk cabang dari iman. [HR Bukhari, no. 9, Muslim, no. 35. Lafazh ini milik Muslim dari sahabat Abu Hurairah] Menyingkirkan gangguan merupakan perbuatan dan beliau memasukkannya ke dalam iman.

Kemudian, di antara aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keyakinan mereka, bahwa iman dapat bertambah dan berkurang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu’min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). [al Fath : 4]

نَّحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk; [al Kahfi : 13].

لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ

…supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)… [al Fath : 4].

Ibnu Baththal rahimahullah berkata : “Apabila dikatakan ‘iman secara bahasa adalah pembenaran’, maka jawabnya, adalah ‘sesungguhnya pembenaran akan sempurna dengan berbagai ketaatan seluruhnya. Tidaklah seorang mu’min bertambah amal kebaikannya, melainkan imannya menjadi lebih sempurna’.

Dengan pernyataan ini -pembenaran akan sempurna dengan ketaatan-, (maka) iman akan bertambah. Dan dengan berkurangnya ketaatan tersebut, maka iman pun berkurang. Kapan saja berkurang amal kebaikan, maka berkurang pula kesempurnaan iman. Kapan saja bertambah amal kebaikan, maka bertambah pula kesempurnaannya. Inilah perkataan pertengahan dalam masalah iman”. [Syarh Shahih Muslim, oleh Imam an Nawawi I/124.]

Ahlussunnah wal Jama’ah juga meyakini bahwa keimanan orang mukminitu bertingkat tingkat. Keimanan orang-orang  shiddiqin yang menjadikan sesuatu yang ghaib bagi mereka seperti sesuatu yang tampak, tidak sama dengan orang-orang yang belum mencapai tingkatan ini. Termasuk di antaranya perkataan sebagian ulama: “Tidaklah Abu Bakar mendahului kalian (dalam tingkatan ini) dengan banyaknya puasa, tidak juga banyaknya shalat, akan tetapi dia mendahului kalian dengan sesuatu yang tertanam di dalam hatinya”.

Inilah rukun-rukun Iman. Siapapun yang meyakini, maka ia akan selamat dan beruntung. Barangsiapa yang menentangnya, maka ia akan sesat dan merugi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنزَلَ مِن قَبْلُ ۚ وَمَن يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

Wahai orang-orang mukmin, berimanlah kepada Allah, RasulNya, kitab suci yang telah diturunkan kepada RasulNya (Muhammad ) dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kufur kepada Allah, malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya dan hari Kiamat, maka sungguh ia benar-benar tersesat. [an Nisaa` : 136].

5. Ihsan
Ihsan adalah ikhlas dan penuh perhatian. Artinya, sepenuhnya ikhlas untuk beribadah hanya kepada Allah dengan penuh perhatian, sehingga seolah-olah engkau melihatNya. Jika engkau tidak mampu seperti itu, maka ingatlah bahwa Allah senantiasa melihatmu dan mengetahui apapun yang ada pada dirimu.

Sabda Rasulullah ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan kata ihsan “engkau menyembah Allah seolah-olah melihatNya dan seterusnya” mengisyaratkan, bahwa seorang hamba menyembah Allah dalam keadaan seperti itu. Berarti, ia merasakan kedekatan Allah dan ia berada di depan Allah seolah-olah melihatNya. Hal ini menimbulkan rasa takut, segan dan mengagungkan Allah, seperti dalam riwayat Abu Hurairah: “Hendaknya engkau takut kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya”.

Ibadah yang seperti ini juga akan menghasilkan ketulusan dalam beribadah, dan berusaha keras untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.

Tentang sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam “Jika engkau tidak dapat melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu”, ada yang mengatakan, sabda tersebut merupakan penjelasanan bagi sabda sebelumnya. Bahwa jika seorang hamba diperintahkan merasa diawasi Allah dalam ibadah dan merasakan kedekatan Allah dengan hambaNya hingga hamba tersebut seolah-olah melihatNya, maka bisa jadi hal tersebut sulit baginya. Untuk itu, hamba tersebut menggunakan imannya, bahwa Allah melihat dirinya, mengetahui rahasianya, mengetahui yang diperlihatkannya, batinnya, luarnya, dan tidak ada sedikit pun dari dirinya yang tidak diketahuiNya. Jika hamba tersebut menempatkan diri dengan posisi seperti ini, maka mudah bagi hamba tersebut untuk beranjak ke posisi kedua, yaitu terus-menerus melihat kedekatan Allah dengan hambaNya dan kebersamaan Allah dengan hambaNya, hingga hamba tersebut seperti melihatNya.

6. Antara  Islam, Iman dan Ihsan
Dienul Islam mencakup tiga hal, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan. Islam berbicara masalah lahir, iman berbicara masalah batin, dan ihsan mencakup keduanya. Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Islam.

Tidaklah ke-Islam-an dianggap sah kecuali jika terdapat padanya iman, karena konsekuensi dari syahadat mencakup lahir dan batin. Demikian juga iman tidak sah kecuali ada Islam (dalam batas yang minimal), karena iman adalah meliputi lahir dan batin.

Melalui penjelasan di atas, maka kita pahami, Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda, baik secara etimologi maupun secara terminologi. Pada dasarnya, jika berbeda nama, tentu berbeda makna. Meskipun demikian, tidak jarang dipergunakan dengan arti yang sama, yaitu Islam berarti Iman, dan sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. Iman menjadi sia-sia tanpa Islam, dan demikian juga sebaliknya.

Apabila nama keduanya dipisah, maka yang lain masuk ke dalam (pengertian)nya, dan menunjukkan pada apa yang ditunjukkan oleh yang lain ketika berdiri sendiri. Apabila keduanya digabungkan, maka salah satunya menunjukkan kepada sesuatu bila berdiri sendiri. Jika dalam satu nash dihubungkan antara Iman dan Islam, maka masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Sehingga definisi iman adalah, pembenaran hati disertai penetapan dan pengetahuannya. Dan pengertian Islam ialah berserah diri kepada Allah, tunduk dan patuh kepadaNya dengan amal perbuatan.

Tentang Istilah “Rukun”
Istilah “Rukun” pada dasarnya merupakan hasil ijtihad para ulama untuk memudahkan memahami dien. Rukun berarti bagian sesuatu yang menjadi syarat terjadinya sesuatu tersebut, jika rukun tidak ada maka sesuatu tersebut tidak terjadi. Istilah rukun seperti ini bisa diterapkan untuk Rukun Iman, artinya jika salah satu dari Rukun Iman tidak ada, maka imanpun tidak ada. Adapun pada Rukun Islam maka istilah rukun ini tidak berlaku secara mutlak, artinya meskipun salah satu Rukun Islam tidak ada, masih memungkinkan Islam masih tetap ada.

Demikianlah semestinya kita memahami dien ini dengan istilah-istilah yang dibuat oleh para ulama, namun istilah-istilah tersebut tidak boleh sebagai hakim karena tetap harus merujuk kepada ketentuan dien, sehingga jika ada ketidaksesuaian antara istilah buatan ulama dengan ketentuan dien, ketentuan dien lah yang dimenangkan.

7. Iman kepada Allah mencakup empat hal.
Batasan minimal bagi seseorang dikatakan dia telah beriman kepada Allah adalah dengan meyakini empat hal berikut ini :

Iman tentang adanya Allah. Perkara ini diyakini oleh setiap makhluk. Adanya alam semesta ini pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena tidak mungkin seluruh alam semesta dan isinya terjadi dengan sendirinya.

Iman tentang rububiyah Allah. Yaitu meyakini, hanya Allah saja yang menciptakan, memiliki langit dan bumi, dan seluruh alam semesta beserta isinya, yang memberikan rezeki, mengatur alam semesta, menghidupkan dan mematikan dan lainnya.

Iman tentang uluhiyah Allah. Yaitu mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba. Dengan cara itu, manusia bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila hal itu disyari’atkan olehNya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja` (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), istighatsah (minta pertolongan saat mengalami kesulitan), isti’adzah (minta perlindungan), dan segala yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya, harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karenaNya. Ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah. Tauhid ini merupakan inti dakwah para rasul, dari rasul yang pertama sampai terakhir.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya “Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. [al Anbiya’ : 25].

Setiap rasul, memulai dakwahnya mengajak umat kepada tauhid uluhiyah, sebagaimana Nuh, Hud, Shalih dan Syu’aib. Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apa pun. Bila ibadah itu dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya terjatuh kepada syirkun akbar dan tidak diampuni dosanya.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. [an Nisa : 48 dan 116]

Tauhid Asma` wa Shifat. Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan atas diriNya, baik berkaitan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah; dan Ahlus Sunnah mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan RasulNya. Kita wajib menetapkan nama dan sifat Allah, sebagaimana yang terdapat di dalam al Qur`an dan as Sunnah, dan tidak boleh dita’wil (dirubah maknanya).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) berkata,”Manhaj Salaf dan para imam ahlus sunnah, mereka mengimani tauhid asma` wa shifat dengan menetapkan apa yang telah Allah tetapkan atas diriNya dan telah ditetapkan RasulNya untukNya, tanpa tahrif dan ta’thil, serta tanpa takyif dan tamtsil. Ahlus Sunnah menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua sifat Allah dan menafikan persamaan sifat Allah dengan makhluknya”. [Lihat penjelasannya di dalam Syarah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hlm. 94, Cet. II].
Firman Allah :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy Syuura : 11].

Lafazh ayat [لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ] (tidak ada yang serupa denganNya) merupakan bantahan kepada golongan yang menyamakan sifat-sifat Allah dengan makhlukNya. Sedangkan lafazh ayat [وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ] (dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat) sebagai bantahan kepada orang-orang yang menafikan atau mengingkari sifat-sifat Allah.

I’tiqad Ahlus Sunnah dalam masalah nama dan sifat Allah didasari atas dua prinsip. Pertama, bahwasanya Allah wajib disucikan dari semua sifat kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati dan lainnya. Kedua, Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna, tidak memiliki kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai sifat-sifat Allah. [Lihat Minhajus Sunnah (II/111,523), Tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim.]

8. Iman tentang adanya Malaikat.
Ahlus sunnah mengimani bahwasanya malaikat itu ada, malaikat adalah makhluk yang tidak berhak untuk diibadahi, malaikat diciptakan oleh Allah ta’ala dari cahaya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ

Diciptakan malaikat dari cahaya, diciptakan jin dari api yang menyala-nyala, dan diciptakan Adam dari apa yang disifatkan kepada kalian. [HR Muslim, no. 2996, 60].

Malaikat mempunyai sayap, sebagaimana Allah berfirman di awal surat Faathir. Dan jumlah malaikat sangat banyak, tidak ada yang mengetahui kecuali hanya Allah. Ada hadits yang menyatakan, bahwa Baitul Ma’mur di langit yang ke tujuh dimasuki setiap hari oleh 70.000 malaikat. Bila mereka keluar tidak kembali lagi ke situ. [HR Bukhari, no.3207 dan Muslim, no. 259].

Malaikat mendapat tugas bermacam-macam dari Allah. Mereka adalah makhluk yang tidak pernah berbuat maksiat kepada Allah, dan mereka selalu bertasbih kepada Allah.

Malaikat yang paling mulia adalah Jibril. Allah mensifatinya dengan sifat amanah dan suci sebagai rekomendasi yang agung dari Rabb Azza wa Jalla. Allah mensifatinya sebagai makhluk yang baik atau berakhlak mulia, memiliki keindahan bentuk, mempunyai kedudukan di sisi Allah. Dia adalah pemimpin para malaikat yang ditaati perintahnya di langit.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Malaikat Jibril dalam bentuk aslinya dua kali. Jibril memiliki 600 sayap yang setiap satu sayap darinya dapat menutup ufuk. Yang pertama pada tiga tahun setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, dan yang kedua pada malam Isra’ dan Mi’raj.

9. Iman kepada Kitab-kitab Yang diturunkan Allah kepada RasulNya
Ahlus Sunnah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada RasulNya.  Sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kitab-kitab Taurat, Injil, Zabur, Shuhuf Ibrahim dan Musa serta al Qur`an tersebut diturunkan oleh Allah dengan benar dan bukan makhluk.

Keistimewaan al Qur`an dari kitab-kitab lainnya :

Kita wajib mengimaninya secara rinci, membenarkan semua berita yang terdapat di dalamnya, melaksanakan perintahNya, menjauhkan laranganNya dan beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam al Qur`an dan as Sunnah.

Al Qur`an adalah mu’jizat yang abadi. Tidak ada seorang pun jin dan manusia yang mampu untuk membuat satu surat saja seperti al Qur’an [al Israa` : 88].

Allah menjamin untuk menjaga al Qur`an [al Hijr : 9].

Al Qur`an sebagai tolak ukur dari kitab-kitab sebelumnya. Dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas dari al Qur`an.

Al Qur`an adalah kalamullah bukan makhluk, berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan kembali kepadaNya; dan bahwasanya Allah berbicara secara hakiki.

10. Iman kepada rasul-rasul Allah.
Ahlus Sunnah beriman kepada rasul-rasul yang diutus Allah kepada setiap kaumnya. Yang dimaksud rasul adalah, orang yang diberi wahyu untuk disampaikan kepada umat. Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh, dan yang terakhir Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap umat tidak pernah kosong dari nabi utusan Allah yang membawa syari’at khusus untuk kaumnya, atau dengan membawa syari’at sebelumnya yang diperbaharui.

Para rasul adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak mempunyai sedikit pun keistimewaan rububiyah maupun uluhiyah. Mereka juga tidak mengetahui perkara yang ghaib. Allah berfirman tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin para rasul dan paling tinggi derajatnya di sisi Allah.

قُل لَّا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah : “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. [al A’raaf : 188].

Iman kepada Rasul mengandung empat unsur :

Mengimani bahwa risalah mereka benar-benar dari Allah. Barangsiapa mengingkari risalah mereka, walaupun hanya seorang, maka menurut pendapat seluruh ulama, ia dikatakan kafir, sebagaimana firman Allah dalam surat Asy Syu’araa’ ayat 105.

Mengimani nama-nama rasul yang sudah kita kenali, yang Allah sebutkan di dalam al Qur`an dan as Sunnah yang shahih. Jumlah nabi dan rasul sangat banyak. Menurut riwayat, jumlah nabi ada 124.000 dan jumlah rasul ada 315. Adapun yang terkenal adalah 25 rasul.[Ahmad (V/178,179), Ibnu Hibban (no. 94) dan al Hakim (II/262). Lihat Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khiril ‘Ibaad (I/43-44) dan Silsilah al Ahaadits ash Shahiihah, no. 2668.]

Allah menyebutkan tentang para nabi dan rasul di dalam al Qur`an ada 25. Yaitu Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Syu’aib, Ayyub, Dzulkifli, Musa, Harun, Dawud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa dan Muhammad. Lihat surat al Imran ayat 33, Hud ayat 50, 61, 84, al Anbiya ayat 85, al An’aam ayat 83-86 dan al Fath ayat 29.

Adapun para rasul yang tidak diketahui namanya, maka wajib bagi kita mengimani secara global. Allah berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ مِنْهُم مَّن قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُم مَّن لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ

Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu, dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu… [al Mu’min : 78]

Membenarkan berita-berita mereka yang shahih riwayatnya.

Mengamalkan syari’at Rasul yang diutus kepada kita. Beliau adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus Allah kepada seluruh manusia dan penutup para nabi. Allah berfirman :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabb-mu, maka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya. [an Nisaa` : 65].

11. Iman kepada Yaumul Akhir (hari kiamat).
Yaitu mengimani yang dikabarkan atau disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peristiwa yang terjadi setelah kematian, peristiwa dan tanda-tanda akhir zaman, kejadian-kejadian di hari kiamat hingga dimasukkannya manusia ke Surga atau ke Neraka.

Di antara peristiwa setelah kematian : fitnah kubur, adzab kubur, nikmat kubur.

Diantara peristiwa dihari kiamat dan setelahnya : ditiupnya sangkakala, dikembalikannya ruh kepada jasadnya, dibangkitkannya manusia dari kubur untuk menghadap Allah rabbul ‘alamin, dikumpulkannya manusia di Padang Mahsyar dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, dan tidak berkhitan, didekatkannya matahari, ditegakkannya timbangan, dibukanya catatan-catatan amal, adanya hisab, al Haudh (telaga), shirath (jembatan), syafa’at, Surga dan Neraka.

12. Beberapa Tanda-Tanda Hari Kiamat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini menyebutkan dua tanda. Di antara tanda-tanda telah dekatnya hari Kiamat, yaitu :

a. Apabila budak wanita melahirkan tuannya. Para ulama memiliki beberapa penafsiran terhadap pengertian ini, antara lain:

Ada yang berpendapat, banyaknya anak yang durhaka. Yaitu seorang anak memperlakukan ibunya sebagaimana perlakuan tuan terhadap budak wanitanya. Pendapat inilah yang dipegang oleh Ibnu Hajar.

Ibnu Rajab berkata,”Ini sebagai isyarat atas pembukaan negeri (kaum Mukminin mengalahkan negeri-negeri kafir) dan banyaknya perbudakan, sehingga banyak budak wanita yang dijadikan gundik dan anak mereka pun menjadi banyak. Maka jadilah budak wanita sebagai budak pemiliknya, dan anak tuannya dari budak wanita itu berkedudukan seperti tuannya. Karena anak majikan berkedudukan sebagai majikan”.

Sebagian ulama mengambil pendapat yang mengatakan bahwa ibu si anak itu dapat merdeka dengan kematian tuannya. Seolah-olah, anaknyalah yang memerdekakannya, maka pembebasan itu dinisbatkan kepada anak tersebut. Dengan hal tersebut, jadilah si anak seolah-olah sebagai majikannya.

b. Sehingga engkau melihat orang yang fakir, telanjang badan dan kaki sebagai penggembala kambing berlomba-lomba untuk meninggikan bangunan. Maksudnya, orang-orang dari kalangan rakyat jelata (orang bodoh) menjadi para pemimpin. Harta mereka pun banyak. Mereka mendirikan bangunan yang tinggi sebagai kebanggaan dan kesombongan tehadap hamba-hamba Allah.

13. Iman kepada Qadh dan Qadar.
Qadha adalah hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala yang azali (telah ada) sebelum diciptakannya sesuatu atau ketiadaannya. Qadar adalah penciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segala sesuatu dengan suatu cara, dan di waktu yang khusus. Dan terkadang keduanya dimutlakkan kepada yang lainnya. Iman kepada takdir dibangun dari dua hal, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama:

At tashdiq (pembenaran). Bahwasanya ilmu Allah mendahului apa yang diperbuat oleh para hambaNya, berupa kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan sebelum mereka diciptakan. Dan Allah telah mencatat semuanya itu di dalam Lauhil Mahfuzh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ

Allah telah menulis takdir seluruh makhlukNya lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.

Seluruh amal perbuatan mereka pasti sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan berjalan menurut apa yang telah diketahui oleh ilmuNya. Firqah Qadariyyah yang ekstrim telah menafikan hal ini (ilmu Allah). Di antara tokohnya, yaitu : Ma’bad al Juhani, Amr bin Ubaid dan selain mereka. Mereka telah menyelisihi pendapat Salaful Ummah, sehingga mereka pun tersesat dari jalan yang lurus. Imam Ahmad, asy Syafi’i dan selain mereka berpendapat tentang kafirnya orang-orang yang mengingkari ilmu Allah yang qadim (terdahulu).

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menciptakan seluruh perbuatan hambaNya berupa berkurangnya iman, ketaatan dan kemaksiatan, dan menutupkannya di antara mereka dengan kehendaknya.

Iman kepada qadha dan qadar ada empat tingkatan:

Al Ilmu. Yaitu, mengimani bahwa Allah dengan ilmuNya, yang merupakan sifatNya yang azali dan abadi, telah mengetahui segala amal perbuatan makhlukNya, serta mengetahui segala ihwal mereka, seperti taat, maksiat, rizki, ajal, bahagia, dan celaka.

Al Kitaabah. Bahwa Allah telah mencatat di Lauh Mahfuz seluruh takdir makhluk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أوّلُ مَا خَلَقَ اللهُ القَلَمَ قَالَ لَهُ اُكْتُبْ قَالَ:مَا أَكْتُبُ ؟ قَالَ : اُكْتُبْ مَاهُوَ كَائِنٌ إِلَى يَومِ القِيامَةِ

Pertama kali yang diciptakan Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman kepadanya: “Tulislah,” (maka) ia menjawab,”Apa yang harus aku tulis?” Allah berfirman,”Tulislah semua yang terjadi sampai hari Kiamat!” [HR Ibnu Ashim di dalam as Sunnah, no. 103; Ahmad V/317] [7].

Sebagaimana juga Allah berfirman:

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. [al Hajj : 70].

Al Masyi’ah. Yaitu, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Sebaliknya, apa yang tidak dikehendakiNya, tidak akan terjadi. Semua gerak-gerik yang terjadi di langit dan di bumi hanyalah dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada sesuatu yang terjadi di dalam kerajaanNya apa yang tidak diinginkanNya.

Al Khalq. Yaitu, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, baik yang ada maupun yang belum ada. Karena itu, tidak ada satupun makhluk di bumi atau di langit, melainkan Allah-lah yang menciptakannya, tiada pencipta selain Dia, tiada Ilah melainkan hanya Allah saja. Sebagaimana firmanNya:

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. [az Zumar : 62].

Dengan demikian, hendaknya bagi orang yang membahas nash-nash tentang qadha dan qadar agar memperhatikan hal-hal berikut, sehingga selamat dari penyimpangan terhadap rukun ini :

a. Membedakan antara sifat Allah dengan sifat makhlukNya.
Pembedaan antara ilmu Allah Azza wa Jalla dan ilmu manusia haruslah dilakukan. Sifat ini harus ditetapkan untuk Allah dengan bentuk yang paling sempurna.

Seluruh sifat Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah sempurna, tidak dicampuri kelemahan, kekurangan, tidak juga keterpaksaan. Sebagaimana yang menimpa pada kekuasaan dan kehendak makhluk, yakni kehendak makhluk memiliki keterbatasan, serba kurang, dan dikuasai.

b. Mensucikan Allah Azza wa Jalla dari berbagai sifat yang kurang.
Wajib bagi para hamba untuk mensucikan Rabb dari kesia-siaan, kejahilan, kezhaliman dan selainnya dari berbagai kekurangan.

c. Penelitian atau pembahasan yang menyeluruh terhadap nash-nash al Kitab dan as Sunnah, serta keluar dengan satu hukum setelahnya. Hal ini sudah seharusnya dilakukan pada setiap permasalahan agama, mengumpulkan nash-nash tentang suatu permasalahan, kemudian bersungguh-sungguh dalam memahaminya, sesudah itu baru kemudian mengeluarkan satu hukum.

d. Allah Azza wa Jalla tidak ditanya tentang apa yang dilakukanNya. Sebagaiman firmanNya :

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ

Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan ditanyai. [al Anbiyaa` : 23]

e. Hendaklah memiliki pengetahuan, bahwasanya seorang hamba diberi beban untuk melakukan berbagai sebab. Adapun hasilnya berada di tangan Allah.

14. Etika bertanya.
Seorang muslim akan menanyakan sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya. Dia tidak akan menanyakan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat. Bagi orang yang menghadiri sebuah majelis ilmu, lalu ia melihat orang-orang yang hadir disitu ingin mengetahui satu hal, dan ternyata masalah tersebut belum ada yang menanyakan, maka sepatutnya ia menanyakan, meskipun ia sudah mengetahuinya agar orang-orang yang hadir bisa mengambil manfaat dari jawaban yang diberikan.

Orang yang ditanya tentang suatu hal, dan ia tidak mengetahui jawabannya, hendaklah ia mengakui ketidaktahuannya, agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak ia ketahui.

15. Metode tanya-jawab.
Pendidikan modern pun mengakui, bahwa metode tanya-jawab merupakan metode pendidikan yang relatif berhasil, karena memberikan tambahan semangat pada diri pendengar untuk mengetahui jawaban yang diberikan. Metode ini sering dipergunakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendidik generasi sahabat Radhiyallahu ‘anhum.

Fawaid Hadits Jibril

 Bid’ah tentang penafian qadar timbul di Basrah pada masa sahabat, dengan tokohnya yang bernama Ma’bad al Juhani.

Kembalinya tabi’in kepada sahabat dalam mengetahui masalah agama, baik dalam masalah aqidah atau yang lainnya.

Wajib atas setiap muslim untuk bertanya tentang masalah agama kepada ulama. [an Nahl ayat 43].

Disunnahkan bagi jama’ah haji dan umrah memanfaatkan kepergian mereka ke Mekkah dan Madinah untuk belajar agama dan bertanya kepada ulama.

Setan menyesatkan manusia dengan dua jalan. Pertama, setan menyesatkan orang yang lalai dari ketaatan kepada Allah dihiasi dengan syahwat. Kedua, setan menyesatkan orang yang taat kepada Allah dihiasi dengan syubhat.

Obat dari syubhat dan syahwat adalah kembali kepada al Qur`an dan as Sunnah dengan pemahaman Salaf.

Menunjukkan disunahkannya memakai pakaian yang bersih dan memakai wangi-wangian ketika berada di majelis ilmu dan bertemu dengan ulama dan penguasa.

Sesungguhnya orang yang berilmu, apabila ia ditanya tentang sesuatu dan dia belum mengetahuinya, hendaklah ia mengatakan “aku tidak mengetahuinya”. Hal ini tidaklah mengurangi kedudukannya.

Ucapan “Allahu a’lam” (Allah yang mengetahui) dan “la adri” (aku tidak tahu) adalah separuh dari ilmu.

Definisi Islam yang benar adalah, tunduk patuh kepada Allah dengan tauhid, melaksanakan ketaatan dan membebaskan diri dari syirik.

Kewajiban pertama kali atas muallaf, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat; bersaksi tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan hanya Allah.

Penjelasan tentang Rukun Islam yang lima. Hadits ini menerangkan, Islam adalah amal-amal anggota badan, berupa perkataan dan perbuatan.

Iman adalah perkataan dan perbuatan. Iman, menurut Ahlus Sunnah adalah perkataan dengan lisan, meyakini dengan hati, melaksanakan dengan anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan dosa dan maksiat.

Penjelasan tentang rukun iman yang enam.

Tauhid ada tiga : Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyyah, dan Tauhid Asmaa` wa Shifat.

Iman kepada qadar baik dan buruk. Apa yang Allah takdirkan kepada kita, itu yang terbaik untuk kita.

Tidak boleh menisbatkan kejelekan kepada Allah.

Penjelasan tentang ihsan.

Tanda-tanda kiamat, yaitu kiamat kecil.

Hadits ini menunjukkan haramnya durhaka kepada orang tua.

Hadits ini menunjukkan salah satu cara dari cara-cara pembelajaran, yaitu metode tanya-jawab.

Hadits ini menunjukkan bahwa malaikat dapat merubah bentuk menyerupai manusia. Hal tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil dari al Qur`an.

Dimakruhkan membangun dan meninggikan bangunan selama tidak untuk keperluan yang sangat mendesak.

Hadits ini menerangkan tentang adab-adab duduk atau bermajelis dalam majelis ilmu, yaitu ditunjukkan Jibril duduk dekat dengan Rasulullah n . Beginilah yang seharusnya dilakukan oleh penuntut ilmu, sehingga ia dapat mengambil ilmu dengan seksama dan mengambil hujjah dari lisan-lisan para ulama.

Tidak ada seorang pun yang mengetahui waktu terjadinya kiamat. [Lihat QS Luqman ayat 34, al Ahzab ayat 63].

Di dalam hadits ini terdapat dalil, sesuatu hal yang ghaib tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Azza wa Jalla semata.


sumber :
http://tigalandasanutama.wordpress.com

Senin, 25 Juni 2012

INILAH SISI GELAP IMAM KHOMEINI IMAM YANG DIPERTUAN AGUNGKAN SYIAH DAN BUKTI BEJADNYA ULAMA-ULAMA SYI'AH

Oleh Mentari Dari Ufuk Timur

Sayyid Husain Al-Musawi menceritakan : “ Ketika Imam Khomaini tinggal di Iraq, kami bolak-balik berkunjung kepadanya. Kami menuntut ilmu darinya sehingga hubungan antara kami dengannya menjadi erat sekali. Suatu waktu disepakati untuk menuju suatu kota dalam rangka memenuhi undangan, yaitu kota yang terletak di sebelah barat Mosul, yang ditempuh kurang lebih satu setengah jam dengan perjalanan mobil. Imam Khomaini memintaku untuk pergi bersamanya, maka saya pergi bersamanya. Kami disambut dan dimuliakan dengan pemuliaan yang sangat luar biasa selama kami tinggal di salah satu keluarga Syiah yang tinggal di sana. Dia telah menyatakan janji setia untuk menyebarkan faham Syiah di wilayah tersebut.Ketika berakhir masa perjalanan, kami kembali. Di jalan saat kami pulang, kami melewati Baghdad dan Imam hendak beristirahat dari keletihan perjalanan. Maka dia memerintahkan untuk menuju daerah peristirahatan, di mana di sana tinggal seorang laki-laki asal Iran yang bernama Sayyid Shahib. Antara dia dan Imam terjalin hubungan persahabatan yang cukup kental.Sayyid Shahib merasa bahagia dengan kedatangan kami. Kami sampai ke rumahnya waktu dzuhur, maka dia membuatkan makan siang bagi kami dengan hidangan yang sangat luar biasa. Dia menghubungi beberapa kerabatnya dan mereka pun datang. Rumah menjadi ramai dalam rangka menyambut kedatangan kami. Sayyid Shahib meminta kami untuk menginap di rumahnya pada malam itu, maka imam pun menyetujuinya. Ketika datang waktu Isya dihidangkan kepada kami makan malam. Orang-orang yang hadir mencium tangan Imam dan menanyakan beberapa masalah dan Imam pun menjawabnya. Ketika tiba saatnya untuk tidur dan orang-orang yang hadir sudah pada pulang, kecuali tuan rumah, Imam Khomaini melihat anak perempuan yang masih kecil, umurnya sekitar empat atau lima tahun, tetapi dia sangat cantik. Imam meminta kepada bapaknya, yaitu Sayyid Shahib untuk menghadirkan anak itu kepadanya agar dia melakukan mut’ah dengannya. Maka si bapak menyetujuinya dan dia merasa sangat senang. Lalu Imam Khomaini tidur dan anak perempuan ada dalam pelukannya, sedangkan kami mendengar tangisan dan teriakannya..Yang penting, berlalulah malam itu. Ketika tiba waktu pagi kami duduk untuk menyantap makan pagi. Sang Imam melihat kepadaku dan di wajahku terlihat terlihat tanda-tanda ketidak sukaan dan pengingkaran yang sangat jelas, karena bagaimana dia melakukan mut’ah dengan anak yang masih kecil, padahal di dalam rumah terdapat gadis-gadis yang sudah baligh, yang mungkin baginya untuk melakukan mut’ah dengan salah satu diantara mereka, tetapi mengapa dia melakukan hal itu dengan anak kecil?Dia berkata kepadaku : “Sayyid Husain, apa pendapatmu tentang mut’ah dengan anak kecil?Saya berkata kepadanya : “Ucapan yang paling tinggi adalah ucapanmu, yang benar adalah perbuatanmu dan engkau adalah seorang Imam Mujtahid. Tidak mungkin bagiku untuk berpendapat atau mengatakan kecuali sesuai dengan pandapat dan perkataanmu. Perlu difahami bahwa tidak mungkin bagi saya untuk menentang fatwamu.”Dia berkata : “Sayyid Husain, sesungguhnya mut’ah dengan anak kecil itu hukumnya boleh, tetapi hanya dengan cumbuan, ciuman dan himpitan paha. Adapun jima, maka sesungguhnya dia belum kuat untuk melakukanya.Imam Khomaini berpendapat atas kebolehan melakukan mut’ah sekalipun dengan anak yang masih disusui. Dia berkata : “Tidak mengapa melakukan mut’ah dengan anak yang masih disusui dengan pelukan, himpitan paha dan ciuman.” (Lihat kitabnya yang berjudul Tahrir Al-Wasilah, 2/241 nomor 12)

Dinukil dari Kitab Lillaahi Tsumma Lit Tariikh

Penulis : Sayyid Husain Al-Musawi

Penerbit : Dar Zhil Asy-Syarif

Edisi Terjemah : Mengapa Saya Keluar Dari Syiah Pnerjemah : Iman Sulaiman Lc
Pustaka Al-Kautsar

SYARAH HADITS ARBA'IN AN-NAWAWIYAH

Syarah Hadits Arbain


Oleh : Al-Ustadz Abu Isa Abdullah bin Salam حَفِظَهُ اللَّهُ

Hadits Ke 1


عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ” إنما الأعمال بالنيات , وإنما لكل امرئ ما نوى , فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله , ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها و امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه ” متفق عليه

Dari Amirul Mu’minin, (Abu Hafsh atau Umar bin Khottob rodiyallohu’anhu) dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu’alaihi wassalam bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).’” (Diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits; Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin Mughiroh bin Bardizbah Al-Bukhori dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusairy An-Naisabury di dalam kedua kitab mereka yang merupakan kitab paling shahih diantara kitab-kitab hadits)

1. Kedudukan dan Keutamaan Hadits Ini

Hadits ini adalah Hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya dan didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya pada beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini pada akhir bab Jihad.

Hadits ini salah satu pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’i -rahimahumallah- berkata : “Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata imam Baihaqi dan lain-lain. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu.

Al Baihaqi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sepertiga ilmu, yaitu bahwa perbuatan hamba terjadi dengan hati, lisan dan anggota badannya, sedangkan niat adalah salah satu dari tiga anggota tadi bahkan yang paling kuat, karena niat terkadang menjadi sebuah ibadah tersendiri dan yang lainnya sangat butuh kepadanya, sehingga dikatakan bahwa niat seorang mukmin lebih baik dari amalnya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ada Tiga hadits yang merupakan poros agama, yaitu hadits Úmar, hadits Aísyah, dan hadits Nu’man bin Basyir.” Perkataan Imam Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan bahwa perbuatan seorang mukallaf bertumpu pada melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan diantara halal dan haram tersebut ada yang musytabihat (hadits Nu’man bin Basyir) [إن الحلال بين و الحرام بين , وبينهما مشتبهات]. Untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dibutuhkan niat yang benar (hadits Úmar) [إنما الأعمال بالنيات],dan (melaksanakan perintah dan menjauhi larangan) harus sesuai dengan tuntunan syariát (hadits Aísyah) [من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد].

Diriwayatkan dari Imam Syafi’i, “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih”.

Para ulama gemar memulai karangan-karangannya dengan mengutip hadits ini. Di antara mereka yang memulai dengan hadits ini pada kitabnya adalah Imam Bukhari. Abdurrahman bin Mahdi berkata : “Bagi setiap penulis buku hendaknya memulai tulisannya dengan hadits ini, untuk mengingatkan para pembacanya agar meluruskan niatnya”.

Ibnu Rajab, dalam Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam (1/61) berkata, “Para ulama telah sepakat atas keshahihan dan diterimanya hadits ini. Dan Al-Bukhari pun memulai kitab Shahihnya dengan hadits ini, dan memposisikannya sebagai khuthbah (muqaddimah)nya. Hal ini sebagai isyarat dari beliau bahwa setiap amalan (apapun) yang tidak diperuntukkan (dalam mengamalkannya) karena wajah Allah, maka amalan tersebut bathil, tidak menghasilkan suatu apapun, baik di dunia maupun di akhirat”

2. Hadits Ini Tergolong Hadits Ahad

Hadits ini dibanding hadits-hadits yang lain adalah hadits yang sangat terkenal, tetapi dilihat dari sumber sanadnya, hadits ini adalah hadits ahad, karena hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin Abi Waqash, kemudian hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dan selanjutnya hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id Al Anshari, kemudian barulah menjadi terkenal pada perawi selanjutnya. Lebih dari 200 orang rawi yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan kebanyakan mereka adalah para Imam.

Kita dapat mengambil faidah dari sanad hadits ini yaitu bahwa hadits ahad adalah hujjah dalam aqidah, karena niat adalah perbuatan hati yang merupakan tempat aqidah, oleh karena itulah Imam Al Bukhari berkata dalam Shahihnya kitab Al iman bab no. 41 :

ما جاء أن الأعمال بالنية والحسبة، ولكل امرىء ما نوى

فدخل فيه الإيمان، والوضوء، والصلاة، والزكاة، والحج، والصوم والأحكام

”Bab bahwa amal dengan niat dan hisbah (ikhlash), dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan, maka masuk padanya iman, wudlu, sholat, zakat, haji, puasa dan ahkam (hukum-hukum)… kemudian beliau membawakan hadits niat ini. [1]

Demikian juga di akhir Shahih Al-Bukhari, beliau (Imam Al-Bukhari) menutup kitabnya dengan hadits Abu Hurairah; [كلمتان حبيبتان إلى الرحمن، خفيفتان على اللسان، ثقيلتان في الميزان: سبحان الله وبحمده، سبحان الله العظيم] “Dua kalimat yang dicintai Ar-Rahman (Allah), yang ringan bagi lisan untuk mengucapkannya, yang berat timbangannya pada timbangan : Subhanallahi wa bihamdihi, Subhanallahi Al-’Azhim”. Maka hadits ini pun termasuk hadits-hadits gharib dalam Shahih Al-Bukhari.

Ini merupakan ijma’ (konsensus) ahlussunnah wal jama’ah, Al Hafidz Ibnu Abdil Barr berkata : ”dan semuanya (maksudnya ahli fiqih dan atsar) beragama dengan kabar seorang yang adil dalam masalah aqidah, memberikan loyalitas dan permusuhan diatasnya, dan menjadikannya sebagai syari’at dan agama dalam aqidahnya, dan diatas (jalan) inilah jama’ah ahlussunnah wal jama’ah “ [Ibnu Abdil Barr, At Tamhid 1/8]

3. Biografi Ringkas Abu Hafsh Umar bin Al-Khoththob -radhiyallahu ‘anhu-

Beliau bernama Umar bin Al Khaththab bin Nufail bin Abdil ‘uzza bin Riyah bin Qurth bin Rozah bin ‘Adiyy bin Ka’ab bin Luayy Al Qurosyi. Kunyah beliau adalah Abu Hafsh [2] dan gelar beliau adalah Al Faruq. Ibu beliau bernama Hantamah bintu Hisyam Al Makhzumiyah saudara wanita Abu Jahal.

Beliau masuk islam pada tahun keenam dari kenabian, umur beliau waktu itu dua puluh tujuh tahun, berkat doa Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya (105) dan dishohihkan oleh Syeikh Al Bani, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Ya Allah, muliakanlah islam dengan Umar bin Al Khaththab“.

Umar mempunyai keutamaan yang sangat banyak diantaranya adalah:

Hadits yang dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Ketika aku tidur aku bermimpi diberi segelas susu, lalu aku meminumnya sehingga aku merasakan kenyang sampai ke jari jemariku, kemudian sisanya aku berikan kepada Umar “. Para shohabat berkata :” Apakah takwilnya ? beliau bersabda : ”Ilmu “.

Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :” Ketika aku tidur aku bermimpi melihat manusia ditampakkan kepadaku dalam keadaan mereka memakai pakaian ; ada yang pakaiannya sampai dada, ada pula yang lebih rendah dari itu, maka Umar melewatiku dengan memakai pakaian panjang yang terseret (ujungnya)”. Para shohabat bertanya :” Apakah takwilnya wahai Rosulullah ? beliau bersabda :” agama “.

Keduanya juga meriwayatkan dari Abu Hurairoh dari Nabi sallallahu’alaihi wasallam bersabda :” Ketika aku tidur, aku bermimpi masuk ke dalam syurga, ternyata ada seorang wanita yang sedang berwudlu di samping sebuah istana, lalu aku bertanya :” Milik siapakah istana ini ? mereka menjawab :” Milik umar “. aku ingat kecemburuan Umar (yang besar) maka akupun segera bergegas pergi “. Mendengar itu Umar menangis dan berkata :” Ayahku sebagai tebusannya, wahai Rosulullah apakah kepada engkau aku cemburu ?”

Dan keutamaan-keutamaan Umar yang lain yang sangat banyak bukan disini tempat penyebutannya. Beliau mati Syahid dibunuh oleh seorang Majusi najis yang bernama Abu Lu’lu`ah di akhir bulan Dzul hijjah tahun 23 H. Semoga Allah meridloi beliau.

4. Penjelasan Hadits

Pertama : Kata “إنما” bermakna “hanya/pengecualian” , yaitu menetapkan sesuatu yang disebut dan mengingkari selain yang disebut itu. Kata “إنما” tersebut terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian secara mutlak dan terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian yang terbatas. Untuk membedakan antara dua pengertian ini dapat diketahui dari susunan kalimatnya.

Misalnya, kalimat pada firman Allah : “إِنَّمَا أَنتَ مُنذِرٌ” (Engkau (Muhammad) hanyalah seorang pemberi peringatan). (QS. Ar-Ra’d : 7)

Kalimat ini secara sepintas menyatakan bahwa tugas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hanyalah menyampaikan peringatan dari Allah, tidak mempunyai tugas-tugas lain. Padahal sebenarnya beliau mempunyai banyak sekali tugas, seperti menyampaikan kabar gembira dan lain sebagainya. Begitu juga kalimat pada firman Allah : “إِنَّمَا الحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ” “Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.”. (QS. Muhammad : 36)

Kalimat ini (wallahu a’lam) menunjukkan pembatasan berkenaan dengan akibat atau dampaknya, apabila dikaitkan dengan hakikat kehidupan dunia, maka kehidupan dapat menjadi wahana berbuat kebaikan.

Dengan demikian apabila disebutkan kata “إنما” dalam suatu kalimat, hendaklah diperhatikan betul pengertian yang dimaksudkan, karena terkadang seseorang berdalil dengan sebuah dalil untuk membatasi sebuah permasalah akan tetapi ternyata tidak seperti yang ia fahami setelah melihat kepada indikasi (qorinah) dan redaksinya.

Kedua : [الأعمال] adalah bentuk jama’ dari  [العمل], yang dimaksud dengan amal disini ialah amalan badan dan lisan.

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata : “Lafadz amal disini mencakup perbuatan anggota badan dan lisan sehingga masuk padanya perkataan” , Ibnu Daqieq Al ‘Ied berkata : “Sebagian ulama ada yang mengeluarkan perkataan, dan pendapat ini jauh (dari kebenaran) dan tidak ragu lagi bagiku bahwa ia masuk ke dalamnya”. Al Hafidz melanjutkan : “Adapun amalan hati seperti niat maka tidak masuk ke dalam hadits ini agar tidak terjadi tasalsul (berantai)”. Maksud beliau adalah bahwa amalan hati tidak membutuhkan niat, contohnya adalah niat, ia adalah amalan hati tidak membutuhkan niat untuk berniat sebab akan terjadi rantai niat yang sangat panjang yang tak ada ujungnya. Diantara contoh amalan hati adalah cinta, benci, tawakkal, takut, beriman dan lain sebagainya.

Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazhkannya adalah bid’ah. Maka tidak boleh melafazhkan niat pada setiap ibadah apapun, kecuali pada ibadah haji dan umrah, maka seseorang dibolehkan menyebutkan dalam talbiyahnya apa yang ia niatkan, berupa qiran, ifrad atau tamattu’. Ia boleh berkata, “Labbaika umratan wa hajjan”. Atau “Labbaika hajjan”. Atau “Labbaika umratan”. Karena memang hal ini ditunjukkan oleh sunnah (hadits) dan tidak pada ibadah yang lainnya.

Ketiga : Pada Hadits ini, kalimat “الأعمال بالنيات ”

Adapun “ال / al” dalam kata “الأعمال/ala’maal”, maka para ulama ada yang mengatakan bahwa fungsinya sebagai pengkhusus, sehingga amalan-amalan yang dimaksud adalah qurbah (ibadah dan pendekatan diri kepada Allah) saja. Dan ada pula yang mengatakan bahwa ia berfungsi sebagai pengumum, sehingga amal-amal di sini mencakup segala macam amal dan perbuatan. Maka segala amalan yang merupakan qurbah (ibadah dan pendekatan diri kepada Allah), pelakunya akan diberi pahala (oleh Allah). Dan jika amal perbuatan tersebut merupakan adat istiadat dan kebiasaan semata, seperti makan, minum, dan tidur, maka jika pelakunya meniatkan hal-hal tersebut sebagai penguat dirinya untuk taat kepada Allah, ia akan diberi pahala (oleh Allah).

Adapun”ال / al” dalam kata “النيات/an-niyat” merupakan pengganti dari dhamir (kata ganti) “ها/ha”. Maksudnya; amalan-amalan itu dengan niatnya. Dan sesuatu yang berkaitan dengan al-jaar wal majruur terbuang dalam kalimat ini, yang taqdir-nya (perkiraannya) adalah “dianggap sah”.

Huruf “ب/ba” pada kata [بالنيات] bisa mempunyai makna al mushohabah (menemani) sehingga menunjukkan bahwa niat itu bagian dari amalan itu sendiri dan disyaratkan tidak boleh terlambat diawalnya. Mungkin juga mempunyai makna sababiyah (sebab) yaitu penegak amalan seakan-akan ia adalah menjadi sebab terjadinya amalan tersebut.

Tentang sabda Rasulullah, “إنما الأعمال بالنيات” ada perbedaan pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai syarat sehingga setiap amal (yang dibenarkan syari’at) jika tanpa disertai dengan niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama Islam (tidak sah tanpa niat). Sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat.

Niat memiliki 2 fungsi:

Jika niat berkaitan dengan tujuan suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan.

Jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya.

Jika para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:

Niat sebagai syarat sahnya ibadah, yaitu istilah niat yang dipakai oleh fuqoha’.

Niat sebagai syarat diterimanya ibadah, dengan istilah lain: Ikhlas.

Niat pada pengertian yang ke-2 ini, jika niat tersebut salah (tidak Ikhlas) maka akan berpengaruh terhadap diterimanya suatu amal, dengan perincian sebagai berikut:

Jika niatnya salah sejak awal, maka ibadah tersebut batal.

Jika kesalahan niat terjadi di tengah-tengah amal, maka ada 2 keadaan:

Jika ia menghapus niat yang awal maka seluruh amalnya batal.

Jika ia memperbagus amalnya dengan tidak menghapus niat yang awal, maka amal tambahannya batal.

Senang untuk dipuji setelah amal selesai, maka tidak membatalkan amal.

Keempat : Kalimat “وإنما لكل امرئ ما نوى” oleh Al-Khaththabi dijelaskan bahwa kalimat ini menunjukkan pengertian yang berbeda dari sebelumnya. Yaitu menegaskan sah tidaknya amal bergantung pada niatnya. Juga Syaikh Muhyidin An-Nawawi menerangkan bahwa niat menjadi syarat sahnya amal. Sehingga seseorang yang meng-qadha’ sholat tanpa niat maka tidak sah Sholatnya, walahu a’lam.

Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam (1/65) berkata, “Hadits ini merupakan kabar bahwa seseorang tidak memperoleh sesuatu pun dari amal dan perbuatannya melainkan dengan apa yang ia niatkan. Jika ia berniat kebaikan, maka ia akan memperoleh kebaikan (pahala). Dan jika ia berniat buruk, maka ia pun akan memperoleh keburukan (dosa). Dan ini bukan semata-mata pengulangan tanpa maksud dan makna dari kalimat yang pertama. Karena kalimat yang pertama [إنما الأعمال بالنيات] menunjukkan bahwa baik dan buruknya perbuatan seseorang bergantung pada niat yang membuatnya melakukan perbuatan tersebut. Sedangkan kalimat yang kedua [إنما لكل امرئ ما نوى], ia menunjukkan bahwa besar dan kecilnya pahala dan ganjaran yang akan ia peroleh bergantung dari kadar kualitas niat baik amalan (ibadah)nya tersebut, dan besar dan kecilnya dosa dan adzab yang akan ia peroleh bergantung dari kadar niat buruk amalan (maksiat)nya tersebut. Dan jika ia berniat melakukan sesuatu yang mubah (dibolehkan) dan tidak lebih dari itu, maka hasil amalannya pun mubah saja. Maka ia tidak mendapatakan pahala ataupun dosa. Dari sini, dapat kita pahami bahwa amalan (perbuatan) itu, baik, buruk, dan mubah-nya bergantung kepada niat yang mendorongnya melakukan amalan (perbuatan) tersebut[*]. Demikian pula dengan pahala dan dosanya bergantung kepada niat yang menjadikan amalannya tersebut baik, rusak atau mubah”.

Kelima : Kalimat “فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله” menurut penetapan ahli bahasa Arab, bahwa kalimat syarat dan jawabnya, begitu pula mubtada’ (subyek) dan khabar (predikatnya) haruslah berbeda, sedangkan di kalimat ini sama. Karena itu kalimat syarat bermakna niat atau maksud baik secara bahasa atau syari’at, maksudnya barangsiapa berhijrah dengan niat karena Allah dan Rosul-Nya maka akan mendapat pahala dari hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya.

Hijrah diambil dari kata hajr yang artinya meninggalkan. Makna hijrah sesecara syariát adalah meninggalkan sesuatu demi Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah artinya mencari sesuatu yang ada disisi-Nya, dan demi Rasul-Nya artinya ittiba’ dan senang terhadap tuntunan Rasul-Nya.

Ibnu Rajab berkata (1/72), “Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa amalan-amalan (perbuatan) itu bergantung pada niatnya, dan bahwa balasan pelaku amalan tersebut bergantung pada baik dan buruk niatnya, dan kedua kalimat ini merupakan kaidah menyeluruh yang tidak keluar darinya sesuatu pun, maka Nabi pun menyebutkan contoh dari sekian contoh amal perbuatan yang bentuknya satu, namun hasilnya dapat berbeda berdasarkan baik dan buruk niatnya. Seolah-olah beliau (Nabi) berkata bahwa seluruh amal apapun dapat diaplikasikan seperti contoh dalam hadits ini”

Beliau berkata pula (1/73), “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabari bahwa hijrah ini berbeda-beda (balasannya) berdasarkan niat dan maksudnya. Maka barangsiapa yang berhijrah ke negeri Islam karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan karena ingin mempelajari agama Islam dan ingin menampakkan agamanya disebabkan ia tidak dapat menampakkannya di negeri kesyirikan, maka orang ini adalah orang yang benar-benar berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan cukuplah ia mendapatkan kemuliaan dan kedudukan dengan sebab apa yang telah ia niatkan dalam hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya. Karena makna inilah nabi mencukupkan jawaban pensyaratannya dengan mengulang lafazhnya saja. Karena hasil dari apa yang ia niatkan dengan hijrahnya tersebut merupakan puncak dari apa yang ia inginkan di dunia dan akhirat…”

Diantara bentuk-bentuk Hijrah:

Meninggalkan negeri syirik menuju negeri tauhid, seperti hijrahnya Kaum Muhajirin dari Makkah ke Madinah.

Meninggalkan negeri bidáh menuju negeri sunnah.

Meninggalkan negeri penuh maksiat menuju negeri yang sedikit kemaksiatan, seperti disebutkan dalam hadits tentang kisah pembunuh 100 nyawa.

Ketiga bentuk hijrah tersebut adalah pengaruh dari makna hijrah.

Keenam : “ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها و امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه”  Ibnu Rajab berkata (1/73) melanjutkan penjelasannya “..Dan barangsiapa yang hijarah dari negeri kesyirikan ke negeri Islam untuk mendapatkan dunia atau untuk menikahi wanita di negeri Islam tersebut, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia inginkan itu. Maka orang yang pertama adalah pedagang, dan orang yang kedua adalah pelamar wanita. Dan kedua-duanya bukanlah muhajir (orang yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya). Dan dalam sabdanya “…kepada apa-apa yang ia berhijrah kepadanya” terdapat penghinaan terhadap apa-apa yang ia inginkan dari perkara dunia, dengan sebab beliau (Nabi) tidak menyebutkan lafazhnya sama sekali. Demikian juga, karena hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya bentuknya adalah satu dan tidak berbilang, maka Nabi hanya mengulangi lafazh pensyaratannya saja. Berbeda halnya dengan hijrah kepada perkara-perkara dunia, ia banyak dan tidak terbatas (bentuknya). Sehingga manusia mungkin saja berhijrah untuk memperoleh keinginan dunia yang bersifat mubah, dan bahkan haram. Dan masing-masing dari tujuan-tujuan hijrah kepada perkara-perkara dunia tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu nabi hanya bersabda, “…maka hijrahnya kepada apa-apa yang ia berhijrah kepadanya”, apapun bentuknya.

Demikianlah, pada dasarnya amal ibadah haruslah diniatkan untuk meraih kenikmatan akhirat. Namun terkadang diperbolehkan beramal dengan niat untuk tujuan dunia disamping berniat untuk tujuan akhirat, dengan syarat apabila syariát menyebutkan adanya pahala dunia bagi amalan tersebut. Akan tetapi, amal yang tidak tercampur niat untuk mendapatkan dunia memiliki pahala yang lebih sempurna dibandingkan dengan amal yang disertai niat duniawi.

Ketujuh : Tentang asbaabul wurud hadits (sebab-sebab disabdakannya hadits oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-) diriwayatkan bahwasanya ada seorang wanita yang bernama Ummu Qais yang telah dilamar oleh seseorang dan ia tidak mau dinikahi hingga calon suaminya itu hijrah. Maka hijrahlah laki-laki tersebut, lalu kami (para Sahabat) menamakan orang itu dengan Muhaajir Ummu Qais. Kisah ini banyak ditulis dalam beberapa kitab, tetapi tidak ada asalnya yang shahih. Wallaahu a’lam. (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (I/74-75) dan ‘Iiqazhul Himam (hlm. 37) Lihat, Syarah Arba’in An-Nawawi, Ustadz Yazid Jawas -hafizhahullah-)

Kandungan Hadist:

Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan menghasilkankan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).

Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati dan bukan di lisan.

Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shaleh dan ibadah.

Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.

Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhaan Allah maka dia akan bernilai ibadah.

Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.

Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.


Sumber : www.tigalandasanutama.wordpress.com/tag/abu-isa-abdullah-bin-salam/

MENGAPA HATIKU MENJADi KERAS...???

Mengapa Hatiku Menjadi Keras…?

⁠Dipublikasikan oleh Majalah Islami Adz-Dzakhiirah⁠ ⁠ pada 18 December 2008⁠



Al-Haur ba’da al-Kaur
Mengapa Hatiku Menjadi Keras…?
Abu Abdirrahman Ibrahim bin Abdullah al-Mazaru’i

Sesungguhnya fenomena berpaling dari komitmen pada agama ini sungguh telah menyebar di kalangan kaum muslimin. Berapa banyak manusia mengeluh akan kerasnya hati setelah sebelumnya tentram dengan berdzikir pada Allah, dan taat kepada-Nya. Dan berapa banyak dari orang-orang yang dulu beriltizam (komitmen pada agama) berkata, “Tidak aku temukan lezatnya ibadah sebagaimana dulu aku merasakannya”, yang lain bekata, “Bacaan al-qur’an tidak membekas dalam jiwaku”, dan yang lain juga berkata, “Aku jatuh ke dalam kemaksiatan dengan mudah”, padahal dulu ia takut berbuat maksiat.

Dampak penyakit ini nampak pada mereka, diantara ciri-cirinya adalah :

1. Mudah terjatuh dan terjerumus dalam kemaksiatan dan hal-hal yang diharamkan (Allah), bahkan dia terus melakukannya padahal dahulu dia sangat takut terjerumus kedalamnya.

2. Merasakan kerasnya hati, nasehat tentang kematian tidak berbekas sama sekali dalam hatinya, demikian juga melihat jenazah dan kuburan.

3. Tidak mantap dalam beribadah, sehingga anda (akan mendapati orang seperti ini) tidak menemukan “kelezatan” dalam menunaikan sholat, membaca al-Qur’an, dan lainnya, serta malas (melakukan) ketaatan dan ibadah, bahkan mengabaikannya dengan mudah, padahal ia dulu giat serta bersemangat melakukannya.

4. Lalai dari berdzikir kepada Allah, serta tidak menjaga lagi dzikir-dzikir syar’iyah (seperti dzikir pagi dan petang, pent) padahal dulu ia giat dan bersemangat melakukannya.

5. Memandang rendah kebaikan dan tidak perhatian kepada amal kebajikan yang mudah dilakukan padahal dulu dia orang yang paling teguh dan rajin.

6. Selalu dibayangi oleh rasa takut pada waktu tertimpa musibah atau problematika, padahal dulu ia tegar serta teguh imannya kepada takdir Allah.

7. Hatinya cenderung kepada dunia dan sangat mencintainya hingga ia akan merasa sangat sedih sekali jika ada sesuatu dalam kehidupan dunia ini yang luput darinya, padahal dulu ia sangat terikat kepada akhirat dan kepada kenikmatan yang ada di dalamnya, Allah Ta’ala telah berfirman :

“Tetapi kalian memilih kehidupan dunia, sedang kehidupan akherat adalah lebih baik dan lebih kekal.” ( al-A’la : 16-17 )

8. Terlalu berlebihan dalam memperhatikan kehidupan dunianya baik dalam masalah makan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan kendaraan, padahal dulu ia lebih mengutamakan untuk mempercantik akhlaqnya dan untuk komitmen serta berpegang teguh pada agama.

Masih banyak lagi sebenarnya dampak penyakit ini. Dan sungguh Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- telah berlindung dari al-Haur ba’da al Kaur. Dari ‘Abdullah bin Sarjas –radhiallahu anhu- ia berkata,

“Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- jika bepergian berlindung dari kesukaran perjalanan, kesedihan saat kembali dan dari al-Haur ba’da al Kaur (lemah/malas dalam beribadah setelah dulunya semangat/rajin).”

Dalam riwayat at-Tirmidzi :

“… dan dari al haur ba’da al kaun..”.

Berkata Nawawi, “Kedua hadits ini adalah hadits yang disebutkan oleh para ahli hadist, ahli bahasa dan ahli gharibul hadits/lafadh asing dalam hadits.” (Syarh Muslim 9/119)

Lalu apakah makna al-Haur ba’da al-Kaur?

Ibnul Faris berkata : “al-Haur” artinya adalah : kembali, Allah- azza wa jalla- berfirman :

“Sesungguhnya ia menyangka bahwa ia sekali-kali tidak akan kembali, tetapi tidak…” (al-Insyqaaq : 14)

Orang Arab berkata :

Maknanya kebatilan itu kembali dan berkurang.

Jika dikatakan :

“Kami berlindung kepada Allah dari al haur.

Makna al-Haur adalah berkurang setelah bertambah. (Mu’jamu Maqayis al-Lughah 2/117)

Ibnu Mandzur menjelaskan dalam “Lisanul ‘Arob” (4/217), ia berkata : “Dan dalam hadits :

“Kami berlindung kepada Allah –azza wa jalla- dari al Haur setelah al Kaur”

Maknanya adalah dari berkurang setelah bertambah, atau dari kerusakan urusan kami setelah kebaikan.

At-Tirmidzi menafsirkan dengan perkataannya : “Dan makna perkataannya : ‘al-Haur ba’da al-Kaun atau al-Kaur, kedua kata itu (al-Kaun dan al-Kaur) mempunyai satu arti, yaitu kembali/berpaling dari keimanan menuju kekafiran, dari ketaatan menuju kemaksiatan.’” (Sunan at-Tirmidzi 498/5)

Kalau begitu, makna al Haur ba’da al Kaur adalah perubahan keadaan manusia dari iman kepada kekafiran, atau dari takwa dan kebaikan kepada perbuatan rusak dan buruk, atau dari hidayah kepada kesesatan. Dan dalam hal ini manusia berbeda-beda tingkatannya, maka jika seseorang mundur/berpaling ke belakang dikhawatirkan ia menutup akhir kehidupannya dengan hal yang buruk.

Dan satu hal yang telah diketahui bahwa amal-amal (seseorang) dilihat pada akhir kehidupannya, dari Sahl bin Sa’ad –radhiallahu anhu-, bahwa Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :

“Sesungguhnya seorang laki-laki dulunya beramal dengan amal penghuni neraka, dan sesungguhnya ia adalah penghuni surga, dan ia dulu mengerjakan amalan penghuni surga, padahal ia adalah penghuni neraka, sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) pada akhirnya.” (HR. al-Bukhari 6607)

Dari Abu Hurairah –radhiallohu anhu- bahwa Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- berkata :

“Sesungguhnya ada seseorang yang dia beramal dengan amalan penghuni surga dalam jangka waktu yang lama tapi diakhir hayatnya dia melakukan perbuatan penghuni neraka dan ada juga orang yang dahulunya berbuat perbuatan penghuni neraka tapi dia akhiri hidupnya dengan perbuatan penghuni surga.” (HR. Muslim 2651 dan Ahmad).

Nash-nash hadits diatas dan selainnya menerangkan kepada kita bahwa yang paling menentukan amal seseorang itu bukan dari apa yang dilakukannya semasa hidupnya tetapi dalam keadaan bagaimana ia mengakhiri hidupnya.

Oleh karena itu pembahasan masalah ini sangat penting sekali, jangan sampai ada seseorang diantara kita yang mengira ia telah sukses melalui jembatan dan sampai di daratannya dengan aman disebabkan komitmennya terhadap agama, serta selamat dari kesesatan dan dari al Haur ba’dal Kaur.

Keteguhan/kekokohan hanya dari Allah –azza wa jalla- semata. Allah –azza wa jalla- menguatkan/meneguhkan nabi-Nya, Dia berfirman :

“Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka”. (al-Isra’ : 74)

Oleh karena itu Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- mengajarkan kepada kita agar kita memohon pertolongan kepada Allah –azza wa jalla- agar Dia mengokohkan kita diatas agama Islam, beliau –shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :

“ Wahai yang meneguhkan hati, teguhkanlah hati kami diatas agama-Mu” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Dan sering kali beliau –shollallahu alaihi wa sallam- berkata tatkala bersumpah :

“Tidak, demi Dzat Yang Membolak-balikkan hati.” (HR al-Bukhari 7391)

Diantara doa Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- :

“Wahai yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami untuk taat kepadamu . (HR Muslim 2654)

Seorang yang beriman harus berusaha memeriksa hatinya dan mengetahui penyakit serta penyebab sakit hatinya, dan berusaha untuk mengobatinya sebelum hatinya menjadi keras dan akhir hidupnya menjadi jelek. Maka apa penyebab al-Haur ba’dal Kaur ? dan apa obatnya ?

Sebab-sebab al-Haur ba’dal Kaur adalah :

1. Lemah Iman.
Lemah iman adalah penyebab kerasnya hati, mudah jatuh dalam kemaksiatan dan malas dari ketaatan, tidak mendapatkan pengaruh dari (membaca) al-Qur’an dan shalat. Lemah iman juga mengurangi rasa takut dia kepada Allah –azza wa jalla-. Lemah iman juga penyebab banyaknya terlibat debat dan berbantah-bantahan, tidak adanya perasaan merasa bertanggung jawab kepada Allah –azza wa jalla- dan beberapa fenomena lainnya. Hal ini juga disebabkan sikap menjauh dari teman yang shalih serta majelis ilmu, dan tersibukkan dengan urusan-urusan dunia serta panjang angan-angan, dan terjerumus dalam hal-hal yang di haramkan. Maka apabila iman seseorang lemah, maka berubahlah keadaannya, dari hal yang baik & istiqamah menjadi tersesat dan berpaling. Maka suatu keharusan (bagi seorang muslim yang merasakan lemahnya iman) untuk mengobatinya. Caranya adalah dengan ikhlas (kepada Allah) dan membaca serta merenungkan al-Qur’an kemudian takut kepada (siksaan) Allah  dan bertaubat dari dosa, kemaksiatan, takut terhadap akhir kesudahan yang buruk serta mengingat mati dan akhirat.

2. Jauh Dari Suasana Yang Penuh Dengan Keimanan.
Seperti majelis ilmu, masjid, al-Qur’an, teman yang shalih, shalat malam, dzikir dan lainnya. Jauh dari suasana yang penuh keimanan ini akibatnya adalah berbalik kebelakang (kembali kepada kemaksiatan).

Maka apabila seseorang jauh dari temannya yang shalih dalam waktu yang lama lantaran bepergian jauh atau suatu tugas atau semisalnya ia akan kehilangan suasana yang penuh keimanan yang mengakibatkan lemahnya iman dan tidak iltizam lagi, apabila ia tidak segera memperbaiki jiwanya. Berkata al-Hasan al-Basri : ” Teman-teman kita lebih mahal (nilainya) dibanding dengan keluarga kita, (hal ini disebabkan) karena keluarga kita hanya mengingatkan kita kepada dunia, sedangkan teman-teman kita mengingatkan kita kepada akhirat”.

Maka selayaknya seorang muslim menjaga komitmennya terhadap agama dengan cara bersungguh-sungguh dan berusaha menjumpai lingkungan yang penuh keimanan.

3. Pengaruh Lingkungan (Yang Jelek)
Jika seorang yang beriltizam berada ditengah lingkungan jelek, yaitu ia hidup bercampur dengan manusia yang bangga dengan kemaksiatan yang dilakukannya dan asyik berdendang dengan lagu-lagu & nyayian, merokok, membaca majalah, lidahnya menggunjing & mencela orang yang beriman, dan apabila ia menghadiri suatu majlis undangan atau acara pernikahan (dikalangan mereka), didapatinya kemungkaran, pembicaraan-pembicaraan mengenai perdagangan, jabatan, harta serta masalah-masalah dunia yang mengakibatkan terjatuhnya hati dalam cinta yang mendalam pada dunia, jika demikian keadaannya maka hati berubah menjadi keras, dan akhirnya berbalik dari komitmen terhadap agama dan kebaikan kepada cinta dunia dan kemaksiatan. Dan apabila ia diuji dengan harta, dengan istri yang lemah imannya atau anak-anak yang sama dengan ibunya dia tidak mampu teguh bahkan mundur dan meninggalkan kebaikan dan keistiqomahan. Jika dia berkumpul dengan keluarga, tetangga dan teman-temannya yang jelek, mendengar kata-kata yang menyakitkan, ejekan, dan mendapatkan nasehat-nasehat yang menghalanginya untuk beriltizam, maka akibatnya ia mundur dari beriltizam dan berbalik hingga merugi di dunia dan di akhirat.

4. Lemah Dalam Pendidikan Yang Benar (Sesuai Agama).
Jika seorang muslim tidak menjaga dirinya dengan pemeliharaan, pendidikan dan perjuangan, ia akan mundur dan berbalik. Maka ia harus meluangkan waktunya sesaat untuk bertaqarrub/mendekatkan diri kepada Allah, menginstropeksi dirinya, mohon ampun dan bertaubat. Dan ia harus meluangkan waktu untuk mendapatkan ilmu agama, mempelajarinya, membacanya dan mengulangi pelajarannya. Dan ia harus meluangkan waktunya sesaat untuk berdakwah, sesaat untuk berdzikir dan membaca al-Qur’an, hingga ia dapat menjaga amalannya itu.

5. Memandang Remeh Dosa-Dosa Dan Perbuatan Maksiat.
Abdullah bin Mubarak berkata :

Aku melihat dosa-dosa itu mematikan hati,
Mengerjakannya terus-menerus menimbulkan kehinaan
Adapun meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati
Dan mendurhakai dosa adalah baik bagi jiwamu

Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata :

“Sesungguhnya diantara dampak negatif dosa adalah melemahkan perjalanan hati (seseorang) menuju negeri akhirat atau menghalanginya atau memutuskannya dari perjalanan itu. Dan kadang kala dosa juga bisa memutar balikkannya ke arah belakang (maksiat dan kekufuran). Hati itu akan berjalan menuju Allah dengan kekuatannya, jika hati itu sakit lantaran dosa-dosa lemahlah kekuatan yang menjalankannya”. (al-Jawabul Kahfi hal 140)

Meremehkan dosa-dosa akan berdampak buruk bagi seseorang, diantaranya menyebabkan bertambahnya dosa, menjauhkan seseorang dari jalan taubat, dan mengajak untuk tidak menjauh dari pelaku dosa. Lalu ia akan asyik bersahabat dan duduk bersama mereka (para pelaku dosa dan maksiat). Bahkan dosa-dosa tersebut mengajaknya untuk menjauh dari orang shalih dan bertaqwa. Dan ini adalah penyebab utama seseorang tidak istiqomah di atas jalan yang lurus.

6. Tertipu Dan Kagum Terhadap Diri Sendiri
Tidak diragukan lagi bahwa menghadiri majelis ilmu dan berteman dengan orang shalih menunjukkan bahwa pada diri orang tersebut terdapat kebaikan, akan tetapi jika telah masuk perasaan tertipu dan bangga terhadap diri sendiri maka hal ini akan memberi pengaruh jelek terhadap pelakunya. Jika sudah demikian, ia akan merasa telah sempurna dan tidak merasa butuh berbuat kebaikan dan beramal shalih lagi. Dan jika seseorang telah kagum terhadap dirinya sendiri maka akan hilang dari dirinya perasaan takut terhadap akhir kesudahan yang jelek dan ia akan merasa aman terhadap kesesatan setelah mendapatkan petunjuk. Hal ini merupakan tanda lemahnya hati dan penyebab seseorang itu mundur kebelakang tidak istiqamah lagi. Jika seseorang kagum terhadap dirinya ia akan tersibukkan dengan mencari aib-aib orang lain dan menyepelekan untuk memperbaiki aib dalam dirinya.

Maka seseorang harus mengobati jiwanya dengan membuang rasa bangga terhadap diri sendiri kemudian bersikap tawadhu’, takut serta memperbaiki aibnya dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.

7. Berteman Dengan Orang-Orang Jahat
Seorang teman mempunyai peranan penting dalam membentuk serta mempengaruhi kepribadian sahabatnya. Jika seorang teman melihat film-film dan majalah-majalah yang memberikan mudharat/bahaya (bagi agamanya), mendengarkan lagu-lagu dan musik, maka ia akan mempengaruhi sahabatnya. Dan terkadang hal-hal yang dilakukan temannya menyelisihi syariat agama tapi ia berbasa-basi dan tidak mengingkarinya, terkadang ia melihat temannya tidak taat beribadah dan meninggalkan sunnah-sunnah nabi, maka ia pun terpengaruh dan meninggalkan keistiqamahannya.

Oleh karena itu seseorang harus memilih teman yang shalih yang membantunya untuk taat kepada Allah, dalam hadits yang shahih disebutkan bahwa :
“Seseorang itu mengikuti agama temannya, maka hendaknya seseorang melihat siapa temannya”.

8. Ada sebab-sebab lainnya yang menyebabkan seseorang meninggalkan keistiqomahan, diantaranya :
- lemahnya kesungguhan dalam berpegang teguh (terhadap agama) dan tidak sabar atas kesulitan-kesulitan dan musibah yang menimpanya.
- Panjang angan-angan, berlebih-lebihan dalam menerapkan hukum agama terhadap dirinya diluar batas kemampuan (ekstrim).
- Penyakit-penyakit hati dan lisan yang menimpanya.
- Kepribadian yang lemah dan sikap selalu mengekor kepada orang lain.
- Kegagalan-kegagalan yang menimpa pada masa lalu dan dia sulit keluar darinya.

Lalu Bagaimana Cara Penyembuhannya?

Disaat kita menyebutkan hal-hal yang menyebabkan ketidak istiqamahan, kita juga menemukan cara-cara untuk mengobatinya :
Lemah iman obatnya adalah menguatkan keimanan. Penyakit menjauhi dari lingkungan yang penuh dengan suasana keimanan obatnya adalah mencari dan menjaga serta meningkatkan lingkungan yang penuh dengan suasana keimanan. Penyakit yang disebabkab oleh lingkungan (yang jelek) obatnya adalah sabar serta menambah keistiqamahan dan bersandar kepada Allah. Lemah dalam pendidikan yang benar obatnya adalah bersungguh-sungguh dalam mencari pendidikan yang benar sesuai dengan agama dan mengatur waktu serta bersungguh-sungguh memperbaiki jiwa. Dosa-dosa dan maksiat obatnya adalah taubat dan mohon ampun dan tidak meremehkan dosa-dosa tersebut. Adapun penyakit hati dan lisan yang mengakibatkan perbuatan jelek maka obatnya adalah membebaskan diri darinya dan dengan bertaubat yang benar. Adapun teman yang jelek maka obatnya adalah memilih teman yang baik dan shalih.

Adapula Cara Lainnya Untuk Mengobati Sikap Tidak Istiqamah

1. Ikhlas dan jujur kepada Allah, hal ini adalah sebab terpenting untuk istiqamah dan menjadi baik :

Ibnul Qayyim berkata :
Sesungguhnya yang mendapatkan kesulitan dalam meninggalkan maksiat yang disukainya dan yang sering dilakukannya adalah seseorang yang meninggalkannya bukan karena Allah. Adapun seseorang yang meninggalkan hal tersebut dengan jujur, ikhlas dari hatinya karena Allah, ia hanya merasakan kesulitan di awal kali ia meninggalkannya. Ini semua untuk mengujinya, apakah ia jujur dalam meninggalkannya ataukah hanya berdusta, jika ia sabar dalam menghadapi kesulitan ini sebentar saja, ia akan memperoleh kelezatannya”. (Al-Fawaid : 99)

2. Takut kepada akhir kesudahan/kematian yang jelek (su’ul khatimah)
Seorang yang beriman dan jujur harus takut dari akhir kesudahan yang buruk, dan waspada dari penyebabnya. Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman :

“(Ya Allah) wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang salih”. (Yusuf : 101)

Suatu malam Sufyan ats-Tsauri –rahmahullah- menangis hingga subuh, tatkala ia ditanya, ia menjawab :
“Sesungguhnya aku menangis karena takut su’ul khatimah / mati dalam keadaan beramal buruk”. (Kitabul aqibah, karya Abdul Haq al-Isbaili 178)

Al-Imam al-Barbahari –rahimahullah- berkata :
Dan ketahuilah, bahwa sepatutnya seseorang ditemani perasaan takut selamanya, karena ia tidak mengetahui mati dalam keadaan bagaimana, dengan amalan apa ia mengakhiri hidupnya, dan bagaimana ia bertemu Allah nantinya sekalipun ia telah mengamalkan segala amal kebaikan. (Syarhu Sunnah 39)

Rasa takut dari akhir kesudahan yang buruk memiliki banyak dampak positif. Perasaan ini akan mendorong seseorang untuk berserah diri kepada Allah –subhanahu wa ta’ala- serta menghadap kepada-Nya dengan selalu berdoa kepada-Nya. Perasaan takut ini akan mengajaknya untuk bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan menambah sikap istiqamah dan kebaikan, dan takut dari berbalik mundur kebelakang.

3. Berdoa
Berdo’a kepada Allah agar melindungi kita dari “al-haur badal kaur”. Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- berdo’a :

“Dan kami berlindung dari al-haur badal kaur” (HR Ahmad dan Muslim 1343, Tirmidzi, Nasai dan lainnya)
Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- juga banyak berdoa :

“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati kokohkanlah hatiku diatas agama-Mu” (HR Tirmidzi)
Kita juga diperintah untuk memohon kepada Allah –subhanahu wa taala- agar Dia memperbaharui keimanan dalam hati kita, Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam-bersabda :

“Sesungguhnya iman dapat menjadi usang dalam rongga (hati) kalian, sebagaimana baju dapat menjadi usang, maka mintalah kepada Allah agar Dia memperbaharui keimanan dalam hati kalian”. (HR Hakim, terdapat juga dalam as-silsilah as-Shahihah karya al-Albani no 1585), maka hendaknya kita memperbanyak berdoa kepada Allah.

4. Kontinyu dalam beramal shalih dan memperbanyak amal shalih.
Sesungguhnya amal shalih yang dilakukan secara kontinyu oleh seseorang adalah lebih disukai oleh Allah, sebagaimana sabda Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- :

“Amal yang paling disukai Allah adalah yang kontinyu walaupun sedikit ….” (Muttafaqun alaihi)

Jika seorang muslim kontinyu dalam beramal shalih sesungguhnya ia akan hidup dalam kebaikan dan keistiqamahan, jika ia lemah dan tertimpa rasa putus asa, maka amal-amal kebaikan yang ia lakukan secara kontinyu ini akan menjadi tiang penyangga untuk istiqamah, mengembalikan jiwa (yang putus asa), dan menguasai jiwanya. Maka sepatutnya bagi seorang muslim untuk memperhatikan dalam mengerjakan amal-amal shalih beberapa perkara ini :

a. Bersegera dan berlomba-lomba dalam beramal shalih, Allah berfirman :

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga …” (Ali Imran : 133)

b. Dan terus beramal shalih serta menjaganya :

“Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku (Allah) dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya…” (HR Bukhari 6137)

c. Lalu bersungguh-sungguh dalam beramal shalih dan memperbanyaknya kemudian bervariasi dalam beramal shalih supaya tidak membosankan jiwanya.

5. Ibnu Mas’ud berkata :

“Dahulu Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- tidak terus menerus dalam memberi nasehat lantaran khawatir kejenuhan menimpa kami”. (Bukhari 68)
Maka seorang muslim harus mengambil bagian untuk duduk dalam majelis ilmu yang memberikannya nasehat, dan dibacakan kepadanya kitab-kitab tentang hal itu.

6. Ada juga cara lain untuk mengobati fenomena ketidak istiqamahan ini, diantaranya :
Berdzikir kepada Allah, merenungkan kehinaan dunia, mengoreksi diri, beramal dan aktif berdakwah.
Akhirnya segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Kita berlindung kepada Allah dari al-Haur ba’dal Kaur.
Ya Allah (yang membolak-balikkan hati). Tetapkanlah hati-hati kami untuk selalu ta’at kepada-Mu. Dan wafatkanlah kami dalam keadaan Husnul Khotimah. (al-Asholah Edisi 27)

(Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 14, hal.28-34)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More