Senin, 25 Juni 2012

SYARAH HADITS ARBA'IN AN-NAWAWIYAH

Syarah Hadits Arbain


Oleh : Al-Ustadz Abu Isa Abdullah bin Salam حَفِظَهُ اللَّهُ

Hadits Ke 1


عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ” إنما الأعمال بالنيات , وإنما لكل امرئ ما نوى , فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله , ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها و امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه ” متفق عليه

Dari Amirul Mu’minin, (Abu Hafsh atau Umar bin Khottob rodiyallohu’anhu) dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu’alaihi wassalam bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).’” (Diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits; Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin Mughiroh bin Bardizbah Al-Bukhori dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusairy An-Naisabury di dalam kedua kitab mereka yang merupakan kitab paling shahih diantara kitab-kitab hadits)

1. Kedudukan dan Keutamaan Hadits Ini

Hadits ini adalah Hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya dan didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya pada beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini pada akhir bab Jihad.

Hadits ini salah satu pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’i -rahimahumallah- berkata : “Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata imam Baihaqi dan lain-lain. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu.

Al Baihaqi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sepertiga ilmu, yaitu bahwa perbuatan hamba terjadi dengan hati, lisan dan anggota badannya, sedangkan niat adalah salah satu dari tiga anggota tadi bahkan yang paling kuat, karena niat terkadang menjadi sebuah ibadah tersendiri dan yang lainnya sangat butuh kepadanya, sehingga dikatakan bahwa niat seorang mukmin lebih baik dari amalnya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ada Tiga hadits yang merupakan poros agama, yaitu hadits Úmar, hadits Aísyah, dan hadits Nu’man bin Basyir.” Perkataan Imam Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan bahwa perbuatan seorang mukallaf bertumpu pada melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan diantara halal dan haram tersebut ada yang musytabihat (hadits Nu’man bin Basyir) [إن الحلال بين و الحرام بين , وبينهما مشتبهات]. Untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dibutuhkan niat yang benar (hadits Úmar) [إنما الأعمال بالنيات],dan (melaksanakan perintah dan menjauhi larangan) harus sesuai dengan tuntunan syariát (hadits Aísyah) [من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد].

Diriwayatkan dari Imam Syafi’i, “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih”.

Para ulama gemar memulai karangan-karangannya dengan mengutip hadits ini. Di antara mereka yang memulai dengan hadits ini pada kitabnya adalah Imam Bukhari. Abdurrahman bin Mahdi berkata : “Bagi setiap penulis buku hendaknya memulai tulisannya dengan hadits ini, untuk mengingatkan para pembacanya agar meluruskan niatnya”.

Ibnu Rajab, dalam Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam (1/61) berkata, “Para ulama telah sepakat atas keshahihan dan diterimanya hadits ini. Dan Al-Bukhari pun memulai kitab Shahihnya dengan hadits ini, dan memposisikannya sebagai khuthbah (muqaddimah)nya. Hal ini sebagai isyarat dari beliau bahwa setiap amalan (apapun) yang tidak diperuntukkan (dalam mengamalkannya) karena wajah Allah, maka amalan tersebut bathil, tidak menghasilkan suatu apapun, baik di dunia maupun di akhirat”

2. Hadits Ini Tergolong Hadits Ahad

Hadits ini dibanding hadits-hadits yang lain adalah hadits yang sangat terkenal, tetapi dilihat dari sumber sanadnya, hadits ini adalah hadits ahad, karena hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin Abi Waqash, kemudian hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dan selanjutnya hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id Al Anshari, kemudian barulah menjadi terkenal pada perawi selanjutnya. Lebih dari 200 orang rawi yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan kebanyakan mereka adalah para Imam.

Kita dapat mengambil faidah dari sanad hadits ini yaitu bahwa hadits ahad adalah hujjah dalam aqidah, karena niat adalah perbuatan hati yang merupakan tempat aqidah, oleh karena itulah Imam Al Bukhari berkata dalam Shahihnya kitab Al iman bab no. 41 :

ما جاء أن الأعمال بالنية والحسبة، ولكل امرىء ما نوى

فدخل فيه الإيمان، والوضوء، والصلاة، والزكاة، والحج، والصوم والأحكام

”Bab bahwa amal dengan niat dan hisbah (ikhlash), dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan, maka masuk padanya iman, wudlu, sholat, zakat, haji, puasa dan ahkam (hukum-hukum)… kemudian beliau membawakan hadits niat ini. [1]

Demikian juga di akhir Shahih Al-Bukhari, beliau (Imam Al-Bukhari) menutup kitabnya dengan hadits Abu Hurairah; [كلمتان حبيبتان إلى الرحمن، خفيفتان على اللسان، ثقيلتان في الميزان: سبحان الله وبحمده، سبحان الله العظيم] “Dua kalimat yang dicintai Ar-Rahman (Allah), yang ringan bagi lisan untuk mengucapkannya, yang berat timbangannya pada timbangan : Subhanallahi wa bihamdihi, Subhanallahi Al-’Azhim”. Maka hadits ini pun termasuk hadits-hadits gharib dalam Shahih Al-Bukhari.

Ini merupakan ijma’ (konsensus) ahlussunnah wal jama’ah, Al Hafidz Ibnu Abdil Barr berkata : ”dan semuanya (maksudnya ahli fiqih dan atsar) beragama dengan kabar seorang yang adil dalam masalah aqidah, memberikan loyalitas dan permusuhan diatasnya, dan menjadikannya sebagai syari’at dan agama dalam aqidahnya, dan diatas (jalan) inilah jama’ah ahlussunnah wal jama’ah “ [Ibnu Abdil Barr, At Tamhid 1/8]

3. Biografi Ringkas Abu Hafsh Umar bin Al-Khoththob -radhiyallahu ‘anhu-

Beliau bernama Umar bin Al Khaththab bin Nufail bin Abdil ‘uzza bin Riyah bin Qurth bin Rozah bin ‘Adiyy bin Ka’ab bin Luayy Al Qurosyi. Kunyah beliau adalah Abu Hafsh [2] dan gelar beliau adalah Al Faruq. Ibu beliau bernama Hantamah bintu Hisyam Al Makhzumiyah saudara wanita Abu Jahal.

Beliau masuk islam pada tahun keenam dari kenabian, umur beliau waktu itu dua puluh tujuh tahun, berkat doa Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya (105) dan dishohihkan oleh Syeikh Al Bani, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Ya Allah, muliakanlah islam dengan Umar bin Al Khaththab“.

Umar mempunyai keutamaan yang sangat banyak diantaranya adalah:

Hadits yang dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Ketika aku tidur aku bermimpi diberi segelas susu, lalu aku meminumnya sehingga aku merasakan kenyang sampai ke jari jemariku, kemudian sisanya aku berikan kepada Umar “. Para shohabat berkata :” Apakah takwilnya ? beliau bersabda : ”Ilmu “.

Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :” Ketika aku tidur aku bermimpi melihat manusia ditampakkan kepadaku dalam keadaan mereka memakai pakaian ; ada yang pakaiannya sampai dada, ada pula yang lebih rendah dari itu, maka Umar melewatiku dengan memakai pakaian panjang yang terseret (ujungnya)”. Para shohabat bertanya :” Apakah takwilnya wahai Rosulullah ? beliau bersabda :” agama “.

Keduanya juga meriwayatkan dari Abu Hurairoh dari Nabi sallallahu’alaihi wasallam bersabda :” Ketika aku tidur, aku bermimpi masuk ke dalam syurga, ternyata ada seorang wanita yang sedang berwudlu di samping sebuah istana, lalu aku bertanya :” Milik siapakah istana ini ? mereka menjawab :” Milik umar “. aku ingat kecemburuan Umar (yang besar) maka akupun segera bergegas pergi “. Mendengar itu Umar menangis dan berkata :” Ayahku sebagai tebusannya, wahai Rosulullah apakah kepada engkau aku cemburu ?”

Dan keutamaan-keutamaan Umar yang lain yang sangat banyak bukan disini tempat penyebutannya. Beliau mati Syahid dibunuh oleh seorang Majusi najis yang bernama Abu Lu’lu`ah di akhir bulan Dzul hijjah tahun 23 H. Semoga Allah meridloi beliau.

4. Penjelasan Hadits

Pertama : Kata “إنما” bermakna “hanya/pengecualian” , yaitu menetapkan sesuatu yang disebut dan mengingkari selain yang disebut itu. Kata “إنما” tersebut terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian secara mutlak dan terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian yang terbatas. Untuk membedakan antara dua pengertian ini dapat diketahui dari susunan kalimatnya.

Misalnya, kalimat pada firman Allah : “إِنَّمَا أَنتَ مُنذِرٌ” (Engkau (Muhammad) hanyalah seorang pemberi peringatan). (QS. Ar-Ra’d : 7)

Kalimat ini secara sepintas menyatakan bahwa tugas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hanyalah menyampaikan peringatan dari Allah, tidak mempunyai tugas-tugas lain. Padahal sebenarnya beliau mempunyai banyak sekali tugas, seperti menyampaikan kabar gembira dan lain sebagainya. Begitu juga kalimat pada firman Allah : “إِنَّمَا الحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ” “Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.”. (QS. Muhammad : 36)

Kalimat ini (wallahu a’lam) menunjukkan pembatasan berkenaan dengan akibat atau dampaknya, apabila dikaitkan dengan hakikat kehidupan dunia, maka kehidupan dapat menjadi wahana berbuat kebaikan.

Dengan demikian apabila disebutkan kata “إنما” dalam suatu kalimat, hendaklah diperhatikan betul pengertian yang dimaksudkan, karena terkadang seseorang berdalil dengan sebuah dalil untuk membatasi sebuah permasalah akan tetapi ternyata tidak seperti yang ia fahami setelah melihat kepada indikasi (qorinah) dan redaksinya.

Kedua : [الأعمال] adalah bentuk jama’ dari  [العمل], yang dimaksud dengan amal disini ialah amalan badan dan lisan.

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata : “Lafadz amal disini mencakup perbuatan anggota badan dan lisan sehingga masuk padanya perkataan” , Ibnu Daqieq Al ‘Ied berkata : “Sebagian ulama ada yang mengeluarkan perkataan, dan pendapat ini jauh (dari kebenaran) dan tidak ragu lagi bagiku bahwa ia masuk ke dalamnya”. Al Hafidz melanjutkan : “Adapun amalan hati seperti niat maka tidak masuk ke dalam hadits ini agar tidak terjadi tasalsul (berantai)”. Maksud beliau adalah bahwa amalan hati tidak membutuhkan niat, contohnya adalah niat, ia adalah amalan hati tidak membutuhkan niat untuk berniat sebab akan terjadi rantai niat yang sangat panjang yang tak ada ujungnya. Diantara contoh amalan hati adalah cinta, benci, tawakkal, takut, beriman dan lain sebagainya.

Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazhkannya adalah bid’ah. Maka tidak boleh melafazhkan niat pada setiap ibadah apapun, kecuali pada ibadah haji dan umrah, maka seseorang dibolehkan menyebutkan dalam talbiyahnya apa yang ia niatkan, berupa qiran, ifrad atau tamattu’. Ia boleh berkata, “Labbaika umratan wa hajjan”. Atau “Labbaika hajjan”. Atau “Labbaika umratan”. Karena memang hal ini ditunjukkan oleh sunnah (hadits) dan tidak pada ibadah yang lainnya.

Ketiga : Pada Hadits ini, kalimat “الأعمال بالنيات ”

Adapun “ال / al” dalam kata “الأعمال/ala’maal”, maka para ulama ada yang mengatakan bahwa fungsinya sebagai pengkhusus, sehingga amalan-amalan yang dimaksud adalah qurbah (ibadah dan pendekatan diri kepada Allah) saja. Dan ada pula yang mengatakan bahwa ia berfungsi sebagai pengumum, sehingga amal-amal di sini mencakup segala macam amal dan perbuatan. Maka segala amalan yang merupakan qurbah (ibadah dan pendekatan diri kepada Allah), pelakunya akan diberi pahala (oleh Allah). Dan jika amal perbuatan tersebut merupakan adat istiadat dan kebiasaan semata, seperti makan, minum, dan tidur, maka jika pelakunya meniatkan hal-hal tersebut sebagai penguat dirinya untuk taat kepada Allah, ia akan diberi pahala (oleh Allah).

Adapun”ال / al” dalam kata “النيات/an-niyat” merupakan pengganti dari dhamir (kata ganti) “ها/ha”. Maksudnya; amalan-amalan itu dengan niatnya. Dan sesuatu yang berkaitan dengan al-jaar wal majruur terbuang dalam kalimat ini, yang taqdir-nya (perkiraannya) adalah “dianggap sah”.

Huruf “ب/ba” pada kata [بالنيات] bisa mempunyai makna al mushohabah (menemani) sehingga menunjukkan bahwa niat itu bagian dari amalan itu sendiri dan disyaratkan tidak boleh terlambat diawalnya. Mungkin juga mempunyai makna sababiyah (sebab) yaitu penegak amalan seakan-akan ia adalah menjadi sebab terjadinya amalan tersebut.

Tentang sabda Rasulullah, “إنما الأعمال بالنيات” ada perbedaan pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai syarat sehingga setiap amal (yang dibenarkan syari’at) jika tanpa disertai dengan niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama Islam (tidak sah tanpa niat). Sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat.

Niat memiliki 2 fungsi:

Jika niat berkaitan dengan tujuan suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan.

Jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya.

Jika para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:

Niat sebagai syarat sahnya ibadah, yaitu istilah niat yang dipakai oleh fuqoha’.

Niat sebagai syarat diterimanya ibadah, dengan istilah lain: Ikhlas.

Niat pada pengertian yang ke-2 ini, jika niat tersebut salah (tidak Ikhlas) maka akan berpengaruh terhadap diterimanya suatu amal, dengan perincian sebagai berikut:

Jika niatnya salah sejak awal, maka ibadah tersebut batal.

Jika kesalahan niat terjadi di tengah-tengah amal, maka ada 2 keadaan:

Jika ia menghapus niat yang awal maka seluruh amalnya batal.

Jika ia memperbagus amalnya dengan tidak menghapus niat yang awal, maka amal tambahannya batal.

Senang untuk dipuji setelah amal selesai, maka tidak membatalkan amal.

Keempat : Kalimat “وإنما لكل امرئ ما نوى” oleh Al-Khaththabi dijelaskan bahwa kalimat ini menunjukkan pengertian yang berbeda dari sebelumnya. Yaitu menegaskan sah tidaknya amal bergantung pada niatnya. Juga Syaikh Muhyidin An-Nawawi menerangkan bahwa niat menjadi syarat sahnya amal. Sehingga seseorang yang meng-qadha’ sholat tanpa niat maka tidak sah Sholatnya, walahu a’lam.

Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam (1/65) berkata, “Hadits ini merupakan kabar bahwa seseorang tidak memperoleh sesuatu pun dari amal dan perbuatannya melainkan dengan apa yang ia niatkan. Jika ia berniat kebaikan, maka ia akan memperoleh kebaikan (pahala). Dan jika ia berniat buruk, maka ia pun akan memperoleh keburukan (dosa). Dan ini bukan semata-mata pengulangan tanpa maksud dan makna dari kalimat yang pertama. Karena kalimat yang pertama [إنما الأعمال بالنيات] menunjukkan bahwa baik dan buruknya perbuatan seseorang bergantung pada niat yang membuatnya melakukan perbuatan tersebut. Sedangkan kalimat yang kedua [إنما لكل امرئ ما نوى], ia menunjukkan bahwa besar dan kecilnya pahala dan ganjaran yang akan ia peroleh bergantung dari kadar kualitas niat baik amalan (ibadah)nya tersebut, dan besar dan kecilnya dosa dan adzab yang akan ia peroleh bergantung dari kadar niat buruk amalan (maksiat)nya tersebut. Dan jika ia berniat melakukan sesuatu yang mubah (dibolehkan) dan tidak lebih dari itu, maka hasil amalannya pun mubah saja. Maka ia tidak mendapatakan pahala ataupun dosa. Dari sini, dapat kita pahami bahwa amalan (perbuatan) itu, baik, buruk, dan mubah-nya bergantung kepada niat yang mendorongnya melakukan amalan (perbuatan) tersebut[*]. Demikian pula dengan pahala dan dosanya bergantung kepada niat yang menjadikan amalannya tersebut baik, rusak atau mubah”.

Kelima : Kalimat “فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله” menurut penetapan ahli bahasa Arab, bahwa kalimat syarat dan jawabnya, begitu pula mubtada’ (subyek) dan khabar (predikatnya) haruslah berbeda, sedangkan di kalimat ini sama. Karena itu kalimat syarat bermakna niat atau maksud baik secara bahasa atau syari’at, maksudnya barangsiapa berhijrah dengan niat karena Allah dan Rosul-Nya maka akan mendapat pahala dari hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya.

Hijrah diambil dari kata hajr yang artinya meninggalkan. Makna hijrah sesecara syariát adalah meninggalkan sesuatu demi Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah artinya mencari sesuatu yang ada disisi-Nya, dan demi Rasul-Nya artinya ittiba’ dan senang terhadap tuntunan Rasul-Nya.

Ibnu Rajab berkata (1/72), “Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa amalan-amalan (perbuatan) itu bergantung pada niatnya, dan bahwa balasan pelaku amalan tersebut bergantung pada baik dan buruk niatnya, dan kedua kalimat ini merupakan kaidah menyeluruh yang tidak keluar darinya sesuatu pun, maka Nabi pun menyebutkan contoh dari sekian contoh amal perbuatan yang bentuknya satu, namun hasilnya dapat berbeda berdasarkan baik dan buruk niatnya. Seolah-olah beliau (Nabi) berkata bahwa seluruh amal apapun dapat diaplikasikan seperti contoh dalam hadits ini”

Beliau berkata pula (1/73), “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabari bahwa hijrah ini berbeda-beda (balasannya) berdasarkan niat dan maksudnya. Maka barangsiapa yang berhijrah ke negeri Islam karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan karena ingin mempelajari agama Islam dan ingin menampakkan agamanya disebabkan ia tidak dapat menampakkannya di negeri kesyirikan, maka orang ini adalah orang yang benar-benar berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan cukuplah ia mendapatkan kemuliaan dan kedudukan dengan sebab apa yang telah ia niatkan dalam hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya. Karena makna inilah nabi mencukupkan jawaban pensyaratannya dengan mengulang lafazhnya saja. Karena hasil dari apa yang ia niatkan dengan hijrahnya tersebut merupakan puncak dari apa yang ia inginkan di dunia dan akhirat…”

Diantara bentuk-bentuk Hijrah:

Meninggalkan negeri syirik menuju negeri tauhid, seperti hijrahnya Kaum Muhajirin dari Makkah ke Madinah.

Meninggalkan negeri bidáh menuju negeri sunnah.

Meninggalkan negeri penuh maksiat menuju negeri yang sedikit kemaksiatan, seperti disebutkan dalam hadits tentang kisah pembunuh 100 nyawa.

Ketiga bentuk hijrah tersebut adalah pengaruh dari makna hijrah.

Keenam : “ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها و امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه”  Ibnu Rajab berkata (1/73) melanjutkan penjelasannya “..Dan barangsiapa yang hijarah dari negeri kesyirikan ke negeri Islam untuk mendapatkan dunia atau untuk menikahi wanita di negeri Islam tersebut, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia inginkan itu. Maka orang yang pertama adalah pedagang, dan orang yang kedua adalah pelamar wanita. Dan kedua-duanya bukanlah muhajir (orang yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya). Dan dalam sabdanya “…kepada apa-apa yang ia berhijrah kepadanya” terdapat penghinaan terhadap apa-apa yang ia inginkan dari perkara dunia, dengan sebab beliau (Nabi) tidak menyebutkan lafazhnya sama sekali. Demikian juga, karena hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya bentuknya adalah satu dan tidak berbilang, maka Nabi hanya mengulangi lafazh pensyaratannya saja. Berbeda halnya dengan hijrah kepada perkara-perkara dunia, ia banyak dan tidak terbatas (bentuknya). Sehingga manusia mungkin saja berhijrah untuk memperoleh keinginan dunia yang bersifat mubah, dan bahkan haram. Dan masing-masing dari tujuan-tujuan hijrah kepada perkara-perkara dunia tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu nabi hanya bersabda, “…maka hijrahnya kepada apa-apa yang ia berhijrah kepadanya”, apapun bentuknya.

Demikianlah, pada dasarnya amal ibadah haruslah diniatkan untuk meraih kenikmatan akhirat. Namun terkadang diperbolehkan beramal dengan niat untuk tujuan dunia disamping berniat untuk tujuan akhirat, dengan syarat apabila syariát menyebutkan adanya pahala dunia bagi amalan tersebut. Akan tetapi, amal yang tidak tercampur niat untuk mendapatkan dunia memiliki pahala yang lebih sempurna dibandingkan dengan amal yang disertai niat duniawi.

Ketujuh : Tentang asbaabul wurud hadits (sebab-sebab disabdakannya hadits oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-) diriwayatkan bahwasanya ada seorang wanita yang bernama Ummu Qais yang telah dilamar oleh seseorang dan ia tidak mau dinikahi hingga calon suaminya itu hijrah. Maka hijrahlah laki-laki tersebut, lalu kami (para Sahabat) menamakan orang itu dengan Muhaajir Ummu Qais. Kisah ini banyak ditulis dalam beberapa kitab, tetapi tidak ada asalnya yang shahih. Wallaahu a’lam. (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (I/74-75) dan ‘Iiqazhul Himam (hlm. 37) Lihat, Syarah Arba’in An-Nawawi, Ustadz Yazid Jawas -hafizhahullah-)

Kandungan Hadist:

Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan menghasilkankan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).

Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati dan bukan di lisan.

Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shaleh dan ibadah.

Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.

Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhaan Allah maka dia akan bernilai ibadah.

Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.

Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.


Sumber : www.tigalandasanutama.wordpress.com/tag/abu-isa-abdullah-bin-salam/

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More