Selasa, 26 Juni 2012

SYARAH HADITS ARBAIN

Hadits Ke 2


عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال : بينما نحن جلوس عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم إذ طلع علينا رجل شديد بياض الثياب شديد سواد الشعر , لا يرى عليه أثر السفر , ولا يعرفه منا أحد حتى جلس إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأسند ركبته إلى ركبتيه ووضح كفيه على فخذيه

وقال : يا محمد أخبرني عن الإسلام

فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : الإسلام أن تشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت إن استطعت إليه سبيلا

قال : صدقت فعجبا له يسأله ويصدقه

قال : أخبرني عن الإيمان

قال : أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره

قال : صدقت

قال : فأخبرني عن الإحسان

قال : أن تعبد الله كأنك تراه , فإن لم تكن تراه فإنه يراك

قال : فأخبرني عن الساعة

قال : ما المسئول بأعلم من السائل

قال : فأخبرني عن اماراتها

قال : أن تلد الأمة ربتها وأن ترى الحفاة العراة العالة رعاء الشاء يتطاولون في البنيان

ثم انطلق فلبث مليا

ثم قال :  يا عمر , أتدري من السائل ؟

قلت : الله ورسوله أعلم

قال : فإنه جبريل أتاكم يعلمكم دينكم –رواه مسلم

Dari Umar rodhiyallohu’anhu juga, beliau berkata: Pada suatu hari ketika kami duduk di dekat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Pada dirinya tidak tampak bekas dari perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Kemudian ia duduk di hadapan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, lalu mendempetkan kedua lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya, kemudian berkata:

”Wahai Muhammad, terangkanlah kepadaku tentang Islam.”

Kemudian Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam menjawab: ”Islam yaitu: hendaklah engkau bersaksi tiada sesembahan yang haq disembah kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh. Hendaklah engkau mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Romadhon, dan mengerjakan haji ke rumah Alloh jika engkau mampu mengerjakannya.” Orang itu berkata: ”Engkau benar.” Kami menjadi heran, karena dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkannya.

Orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang iman”.

(Rosululloh) menjawab: ”Hendaklah engkau beriman kepada Alloh, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir, dan hendaklah engkau beriman kepada taqdir yang baik dan yang buruk.”Orang tadi berkata: ”Engkau benar.”

Lalu orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang ihsan.”

(Beliau) menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.”

Orang itu berkata lagi: ”Beritahukanlah kepadaku tentang hari kiamat.”

(Beliau) mejawab: “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.”

Orang itu selanjutnya berkata: ”Beritahukanlah kepadaku tanda-tandanya.”

(Beliau) menjawab: ”Apabila budak melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan.”

Kemudian orang itu pergi, sedangkan aku tetap tinggal beberapa saat lamanya. Lalu Nabi shollallohu ’alaihi wasallam bersabda: ”Wahai Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu ?”. Aku menjawab: ”Alloh dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui.” Lalu beliau bersabda: ”Dia itu adalah malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim).

Takhrij Hadits

Hadits ini secara lengkap diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 8, dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (I/27,28,51,52), Abu Dawud (no. 4695), at Tirmidzi (no.2610), an Nasaa-i (VIII/97), Ibnu Majah (no. 63), Ibnu Mandah dalam al Iman (1,14), ath Thoyalisi (no. 21), Ibnu Hibban (168,173), al Aajurri dalam asy Syari’ah (II/no.205, 206, 207, 208), Abu Ya’la (242), al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no.2), al Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalat (no.363-367), ‘Abdullah bin Ahmad dalam as Sunnah (no.901,908), al Bukhari dalam Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (190), Ibnu Khuzaimah (no.2504) dari sahabat Ibnu ‘Umar dari bapaknya ‘Umar bin Khaththab.

Hadits ini mempunyai syawahid (penguat) dari lima orang sahabat. Mereka disebutkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul Baari (I/115-116), yaitu :
- Abu Dzar al Ghifari (HR Abu Dawud dan Nasaa-i).
- Ibnu ‘Umar (HR Ahmad, Thabrani, Abu Nu’aim).
- Anas (HR Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibaad).
- Jarir bin ‘Abdullah al Bajali (HR Abu ‘Awanah).
- Ibnu ‘Abbas dan Abu Amir al ‘Asy’ari (HR Ahmad, sanadnya hasan)

Kedudukan Hadits

Materi hadits ke-2 ini sangat penting sehingga sebagian ulama menyebutnya sebagai “Induk sunnah”, karena seluruh sunnah berpulang kepada hadits ini.

Al-Qadhi ‘Iyadh berkata : “Hadits ini mencakup penjelasan seluruh amal ibadah, baik yang zhahir maupun yang bathin. Diantaranya adalah ikatan iman, pekerjaan anggota badan, keikhlasan dan menjaga diri dari perusak-perusak amal. Bahkan ilmu-ilmu syari’at semuanya kembali kepada hadits ini dan merupakan cabangnya”

Imam An-Nawawi berkata : “Ketahuilah, bahwa hadits ini menghimpun berbagai macam ilmu, pengetahuan, adab dan kelemah-lembutan. Bahkan hadits ini merupakan pokoknya Islam sebagaimana yang telah kami riwayatkan dari Al-Qadhi ‘Iyadh”

Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata “Hadits ini seakan menjadi induk bagi sunnah, sebagaimana Al-Fatihah dinamakan Ummul Qur’an karena ia mencakup seluruh nilai-nilai yang ada di dalam Al-Qur’an”

Imam Ibnu Rajab berkata : “Hadits ini merupakan hadits yang agung mencakup seluruh penjelasan agama.  Karenanya, Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda di akhir hadits : ‘Sesungguhnya ia adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan tentang agama kalian,’ setelah menjelaskan kedudukan Islam, kedudukan Iman, dan kedudukan Ihsan. Dan menjadikan semua itua gama”

Faidah dari Riwayat Hadits Ini Dalam Shahih Muslim

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Yahya bin Ya’mur,

عن يحيى بن يعمر؛ قال : كان أول من قال في القدر بالبصرة معبد الجهني. فانطلقت أنا وحميد بن عبدالرحمن الحميري حاجين أو معتمرين فقلنا: لو لقينا أحد من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم فسألناه عما يقول هؤلاء في القدر. فوفق لنا عبدالله بن عمر بن الخطاب داخلا المسجد. فاكتنفته أنا وصاحبي. أحدنا عن يمينه والأخر عن شماله. فظننت أن صاحبي سيكل الكلام إلي. فقلت: أبا عبدالرحمن! إنه قد ظهر قبلنا ناس يقرؤون القرآن ويتقفرون العلم. وذكر من شأنهم وأنهم يزعمون أن لا قدر. وأن الأمر أنف. قال: فإذا لقيت أولئك فأخبرهم أني بريء منهم، وأنهم برآء مني. والذي يحلف به عبدالله بن عمر! لو أن لأحدهم مثل أحد ذهبا فأنفقه، ما قبل الله منه حتى يؤمن بالقدر. ثم قال: حدثني أبي عمر بن الخطاب

Dari Yahya bin Ya’mur dia berkata, “Dahulu yang pertama kali berbicara tentang qadar di bashrah adalah Ma’bad Al-Juhani, maka aku (Yahya bin Ya’mur) berangkat bersama Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari untuk melaksanakan haji atau umrah. Kami berkata : ” Jika kami bertemu salah seorang dari Shahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka kami akan bertanya kepadanya tentang orang-orang yang berbicara masalah qadar. Kemudian kami melihat Abdullah bin Umar masuk kedalam masjid, maka aku dan sahabatku menggandeng tangannya satu di kanan yang lain di kiri. Aku mengira sahabatku menyerahkan pembicaraan kepadaku, maka aku berkata : ‘Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul dikalangan kami orang yang membaca Al-Qur’an dan menuntut ilmu -lalu ia menyebutkan perkara mereka- dan mereka beranggapan bahwa takdir tidak ada, sesungguhnya ini adalah perkara yang baru.’ Ibnu Umar berkata : ‘ Jika engkau bertemu dengan mereka, maka beritahukan bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka dan mereka juga berlepas diri dariku. Demi Allah, seandainya salah seorang dari mereka menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, sungguh Allah tidak akan menerimanya hingga ia beriman kepada Qadar.’ Kemudian Ibnu Umar melanjutkan : ‘Ayahku -Umar bin Khattab-  menceritakan kepadaku …’ lalu ia menyebutkan hadits di atas.

Ada kisah lain yang semisal dengan ini dalam Shahih Muslim,  dari Yazid Al-Faqir dia berkata :

كنت قد شغفني رأي من رأي الخوارج فخرجنا في عصابة ذوي عدد نريد أن نحج ثم نخرج على الناس قال فمررنا على المدينة فإذا جابر بن عبد الله يحدث القوم جالس إلى سارية عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإذا هو قد ذكر الجهنميين قال فقلت له يا صاحب رسول الله ما هذا الذي تحدثون والله يقول ” إنك من تدخل النار فقد أخزيته ” و ” كلما أرادوا أن يخرجوا منها أعيدوا فيها ” فما هذا الذي تقولون قال فقال أتقرأ القرآن قلت نعم قال فهل سمعت بمقام محمد عليه السلام يعني الذي يبعثه الله فيه قلت نعم قال فإنه مقام محمد صلى الله عليه وسلم المحمود الذي يخرج الله به من يخرج قال ثم نعت وضع الصراط ومر الناس عليه قال وأخاف أن لا أكون أحفظ ذاك قال غير أنه قد زعم أن قوما يخرجون من النار بعد أن يكونوا فيها قال يعني فيخرجون كأنهم عيدان السماسم قال فيدخلون نهرا من أنهار الجنة فيغتسلون فيه فيخرجون كأنهم القراطيس فرجعنا قلنا ويحكم أترون الشيخ يكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم فرجعنا فلا والله ما خرج منا غير رجل واحد أو كما قال أبو نعيم

“Saya pernah tertarik oleh suatu pendapat kaum khawarij, lalu kami keluar dalam satu kelompok yang berjumlah banyak, karena kami ingin melaksanakan ibadah haji kemudian kami keluar ke tengah orang banyak.” Yazid berkata, “Kemudian kami melewati kota Madinah. Tiba-tiba ada Jabir bin ‘Abdullah sedang membicarakan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada suatu kaum dengan duduk bersama satu kafilah.” Yazid berkata, “kemudian Jabir bin Abdillah menyebutkan tentang Jahannamiyyin (yakni, penghuni-penghuni jahannam yang dikeluarkan darinya kemudian dimasukkan ke Surga -admin).” Saya berkata kepada Jabir bin ‘Abdullah, “Wahai sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! apa yang kamu bicarakan ini? Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya orang yang engkau masukkan ke dalam neraka maka sungguh engkau telah hinakan dia.’(ali Imran:192) dan firmanNya lagi, ‘Setiap kali para penghuni neraka itu ingin keluar dari neraka maka mereka itu selalu dilemparkan kembali ke dalamnya.’(as Sajadah:20). Lalu apa yang kalian katakan itu?”

Jabir bertanya, “Sudahkah kamu membaca al Qur’an? Pernahkah kamu mendengar tentang kedudukan nabi Muhammad yang akan diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ? Saya menjawab, ‘ya sudah pernah’ Jabir berkata, “Itulah kedudukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, yang dengan itu Allah mengeluarkan orang dari neraka yang beliau kehendaki.”

Kemudian Jabir bin ‘Abdullah menjelaskan letak as Shirath dan bagaimana manusia melintas di atasnya. Hanya saja Jabir mengatakan bahwa ada satu kaum yang keluar dari neraka setelah mereka berada didalamnya. Yakni mereka keluar dengan jasad bagaikan biji kurma yang baru dijerang di matahari. Kemudian mereka masuk dalam salah satu telaga surga, kemudian mereka mandi dan keluar sebersih selembar kertas.

Kemudian kami pulang dan mengatakan, “Celakalah kamu sekalian! Apakah kalian menganggap seorang syaikh (Jabir bin Abdullah) membuat kebohongan terhadap Rasulullah?” maka kami terus pulang. Sungguh demi Allah tidaklah ada yang keluar dari kelompok kami kecuali hanya seorang. Demikianlah sebagaimana riwayat yang disampaikan oleh Abu Nu’aim”.

Abu Nu’aim adalah Fadl bin Dukain, beliau salah seorang perawi hadits ini [Syarah shahih muslim oleh Imam an Nawawi III/50-52]

Dari  dua kisah di atas, ada beberapa faidah penting yang dapat kita ambil :

1. Bid’ah pertama kali tentang peniadaan qadar, timbul di Bashrah pada masa sahabat yaitu ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau wafat tahun 73 H.

2. Para tabi’in selalu bertanya kepada para sahabat untuk mengetahui hukum dari perkara-perkara yang musykil, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah maupun yang lainnya. Hal ini adalah wajib atas setiap muslim untuk mengembalikan urusan agama mereka kepada para ulama. Firman Allah l :

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada ahludz dzikr (ahli ilmu/ ulama) jika kamu tidak mengetahui.” [an Nahl:43]

3. Disunnahkan bagi seluruh kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji dan umrah agar mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk mempelajari agama Islam dan memperdalamnya serta bertanya kepada para ulama yang ada di Mekkah dan Madinah untuk mengetahui hukum-hukum agama yang belum mereka ketahui. Sebagaimana yang dilakukan Yahya bin Ya’mur, Humaid bin ‘Abdurrahman al Himyari dan Yazid al Faqir.

4. Pemahaman Shahabat adalah hujjah yang dengannya seseorang dapat menghilangkan syubhat yang dilontarkan oleh para pengikut hawa nafsu.  Rombongan Yazid Al-Faqir datang untuk menunaikan ibadah haji mereka mempunyai pemahaman yang salah, yaitu orang-orang yang berbuat dosa besar tidak keluar dari neraka. Mereka membawakan ayat-ayat yang turun untuk orang kafir dikenakan kepada kaum Muslimin dan pemahaman ini adalah pemahaman Khawarij.

Ibnu ‘Umar memandang bahwa Khawarij adalah sejelek-jelek makhluk Allah, ia berkata “Mereka membawakan ayat-ayat yang turun kepada orang-orang kafir dikenakan kepada kaum mukminin.” [Fathul Baari XII/282]

5. Di dalam kisah ini menunjukkan bahwa syaithan menyesatkan manusia dengan dua cara; Pertama, orang-orang yang lalai dan berpaling dari keta’atan dihiasi dengan syahwat kedua, orang-orang yang taat dan ahli ibadah, syetan menyesatkan mereka dengan cara ghuluw (berlebih-lebihan) dan melemparkan syubhat kepada mereka. (syarah hadits jibril hal.12) Imam Ibnul Qayyim berkata bahwa hati manusia dirusak oleh fitnah syahwat dan fitnah syubhat.[Lihat Ighatsatul Lahafan min Makaidi asy Syaithan] Kedua fitnah ini sangat berbahaya bagi manusia.

Kandungan Hadits Jibril

Dari penjelasan tentang urgensi hadits ini, kita dapat mengambil faidah di antaranya :

1. Menunjukkan tentang pentingnya majelis ilmu.
Karena, itu setiap ulama dianjurkan mengadakan majelis ilmu yang ditentukan waktunya, setiap sepekan sekali atau dua kali, supaya mereka tidak bosan. [Hilyatul Ilmil Mu’allim wa Bulghatut Thalibil Muta’allim, hlm. 17-19.]

2. Memperbaiki pakaian dan penampilan.
Ketika hendak masuk masjid dan akan menghadiri majelis ilmu, disunnahkan memakai pakaian yang rapi, bersih dan memakai minyak wangi. Bersikap baik dan sopan di majelis ilmu dan di hadapan para ulama adalah perilaku yang sangat baik, karena Jibril saja datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penampilan dan sikap yang baik.

3. Islam
Secara etimologi, Islam berarti tunduk dan menyerah sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla. Adapun secara terminology, disebutkan :

الإِ سلامُ: اَلإِستِسلاَمُ للهِ بِالتَوحَيدِ وَاالإِنقِياَدُ لَهُ بِالطَّاعَةِ وَالبَرَاءَةُ مِنَ الشِّركِ وَأَهلِه

Islam adalah patuh dan tunduk kepada Allah dengan cara mentauhidkan, mentaati dan membebaskan diri dari kemusyrikan dan ahli syirik. [Syarh Tsalatsatil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, hlm. 68-69]

الإسلام والاستسلام , menurut bahasa artinya الإنقياد . Yaitu patuh dan tunduk. Sedangkan menurut syari’at, yaitu menampakkan ketundukan dan memperlihatkan syari’at serta berpegang teguh dengan yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan hal tersebut, terpelihara dan tercegahlah darah dari segala yang dibenci.

Dalam hadits di atas, kekasih Rabb semesta alam ‘alaihish shalatu wassalam mendefinisikan Islam dengan amalan-amalan anggota badan yang tampak. Yaitu berupa perkataan dan perbuatan. Mengucapkan dua kalimat syahadat adalah perbuatan lisan. Shalat dan puasa adalah perbuatan badan (tubuh). Zakat harta adalah amalan pada harta, dan haji adalah amalan pada badan dan harta.

Islam adalah agama yang dilandaskan atas lima dasar, yaitu :

Mengucapkan dua kalimat syahadat ( أشْهَدُ أن لاإِله إِلاَّالله وَأَشهَدُأَنَّ مُحَمَّدًارَسُولُ الله), artinya : Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan Aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam utusan Allah.

Menunaikan shalat wajib pada waktunya, dengan memenuhi syarat, rukun dan memperhatikan adab dan hal-hal yang sunnah.

Mengeluarkan zakat.

Puasa pada bulan Ramadhan.

Haji sekali seumur hidup bagi yang mampu, mempunyai biaya untuk pergi ke tanah suci dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.

4. Iman
Iman adalah at tashdiq, yaitu pengakuan dan pembenaran. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan iman dalam hadits ini sebagai keyakinan yang ada dalam batin. Dan Ahlus Sunnah berkeyakinan, iman adalah perkataan, perbuatan, dan niat (kehendak hati). Dan sesungguhnya, amal perbuatan termasuk ke dalam nama iman.

Di antara aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah bahwasanya amal termasuk ke dalam Iman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

Iman memiliki tujuh puluh cabang lebih. Yang paling utama ialah ucapan Laa ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu termasuk cabang dari iman. [HR Bukhari, no. 9, Muslim, no. 35. Lafazh ini milik Muslim dari sahabat Abu Hurairah] Menyingkirkan gangguan merupakan perbuatan dan beliau memasukkannya ke dalam iman.

Kemudian, di antara aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keyakinan mereka, bahwa iman dapat bertambah dan berkurang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu’min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). [al Fath : 4]

نَّحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk; [al Kahfi : 13].

لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ

…supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)… [al Fath : 4].

Ibnu Baththal rahimahullah berkata : “Apabila dikatakan ‘iman secara bahasa adalah pembenaran’, maka jawabnya, adalah ‘sesungguhnya pembenaran akan sempurna dengan berbagai ketaatan seluruhnya. Tidaklah seorang mu’min bertambah amal kebaikannya, melainkan imannya menjadi lebih sempurna’.

Dengan pernyataan ini -pembenaran akan sempurna dengan ketaatan-, (maka) iman akan bertambah. Dan dengan berkurangnya ketaatan tersebut, maka iman pun berkurang. Kapan saja berkurang amal kebaikan, maka berkurang pula kesempurnaan iman. Kapan saja bertambah amal kebaikan, maka bertambah pula kesempurnaannya. Inilah perkataan pertengahan dalam masalah iman”. [Syarh Shahih Muslim, oleh Imam an Nawawi I/124.]

Ahlussunnah wal Jama’ah juga meyakini bahwa keimanan orang mukminitu bertingkat tingkat. Keimanan orang-orang  shiddiqin yang menjadikan sesuatu yang ghaib bagi mereka seperti sesuatu yang tampak, tidak sama dengan orang-orang yang belum mencapai tingkatan ini. Termasuk di antaranya perkataan sebagian ulama: “Tidaklah Abu Bakar mendahului kalian (dalam tingkatan ini) dengan banyaknya puasa, tidak juga banyaknya shalat, akan tetapi dia mendahului kalian dengan sesuatu yang tertanam di dalam hatinya”.

Inilah rukun-rukun Iman. Siapapun yang meyakini, maka ia akan selamat dan beruntung. Barangsiapa yang menentangnya, maka ia akan sesat dan merugi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنزَلَ مِن قَبْلُ ۚ وَمَن يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

Wahai orang-orang mukmin, berimanlah kepada Allah, RasulNya, kitab suci yang telah diturunkan kepada RasulNya (Muhammad ) dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kufur kepada Allah, malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya dan hari Kiamat, maka sungguh ia benar-benar tersesat. [an Nisaa` : 136].

5. Ihsan
Ihsan adalah ikhlas dan penuh perhatian. Artinya, sepenuhnya ikhlas untuk beribadah hanya kepada Allah dengan penuh perhatian, sehingga seolah-olah engkau melihatNya. Jika engkau tidak mampu seperti itu, maka ingatlah bahwa Allah senantiasa melihatmu dan mengetahui apapun yang ada pada dirimu.

Sabda Rasulullah ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan kata ihsan “engkau menyembah Allah seolah-olah melihatNya dan seterusnya” mengisyaratkan, bahwa seorang hamba menyembah Allah dalam keadaan seperti itu. Berarti, ia merasakan kedekatan Allah dan ia berada di depan Allah seolah-olah melihatNya. Hal ini menimbulkan rasa takut, segan dan mengagungkan Allah, seperti dalam riwayat Abu Hurairah: “Hendaknya engkau takut kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya”.

Ibadah yang seperti ini juga akan menghasilkan ketulusan dalam beribadah, dan berusaha keras untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.

Tentang sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam “Jika engkau tidak dapat melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu”, ada yang mengatakan, sabda tersebut merupakan penjelasanan bagi sabda sebelumnya. Bahwa jika seorang hamba diperintahkan merasa diawasi Allah dalam ibadah dan merasakan kedekatan Allah dengan hambaNya hingga hamba tersebut seolah-olah melihatNya, maka bisa jadi hal tersebut sulit baginya. Untuk itu, hamba tersebut menggunakan imannya, bahwa Allah melihat dirinya, mengetahui rahasianya, mengetahui yang diperlihatkannya, batinnya, luarnya, dan tidak ada sedikit pun dari dirinya yang tidak diketahuiNya. Jika hamba tersebut menempatkan diri dengan posisi seperti ini, maka mudah bagi hamba tersebut untuk beranjak ke posisi kedua, yaitu terus-menerus melihat kedekatan Allah dengan hambaNya dan kebersamaan Allah dengan hambaNya, hingga hamba tersebut seperti melihatNya.

6. Antara  Islam, Iman dan Ihsan
Dienul Islam mencakup tiga hal, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan. Islam berbicara masalah lahir, iman berbicara masalah batin, dan ihsan mencakup keduanya. Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Islam.

Tidaklah ke-Islam-an dianggap sah kecuali jika terdapat padanya iman, karena konsekuensi dari syahadat mencakup lahir dan batin. Demikian juga iman tidak sah kecuali ada Islam (dalam batas yang minimal), karena iman adalah meliputi lahir dan batin.

Melalui penjelasan di atas, maka kita pahami, Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda, baik secara etimologi maupun secara terminologi. Pada dasarnya, jika berbeda nama, tentu berbeda makna. Meskipun demikian, tidak jarang dipergunakan dengan arti yang sama, yaitu Islam berarti Iman, dan sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. Iman menjadi sia-sia tanpa Islam, dan demikian juga sebaliknya.

Apabila nama keduanya dipisah, maka yang lain masuk ke dalam (pengertian)nya, dan menunjukkan pada apa yang ditunjukkan oleh yang lain ketika berdiri sendiri. Apabila keduanya digabungkan, maka salah satunya menunjukkan kepada sesuatu bila berdiri sendiri. Jika dalam satu nash dihubungkan antara Iman dan Islam, maka masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Sehingga definisi iman adalah, pembenaran hati disertai penetapan dan pengetahuannya. Dan pengertian Islam ialah berserah diri kepada Allah, tunduk dan patuh kepadaNya dengan amal perbuatan.

Tentang Istilah “Rukun”
Istilah “Rukun” pada dasarnya merupakan hasil ijtihad para ulama untuk memudahkan memahami dien. Rukun berarti bagian sesuatu yang menjadi syarat terjadinya sesuatu tersebut, jika rukun tidak ada maka sesuatu tersebut tidak terjadi. Istilah rukun seperti ini bisa diterapkan untuk Rukun Iman, artinya jika salah satu dari Rukun Iman tidak ada, maka imanpun tidak ada. Adapun pada Rukun Islam maka istilah rukun ini tidak berlaku secara mutlak, artinya meskipun salah satu Rukun Islam tidak ada, masih memungkinkan Islam masih tetap ada.

Demikianlah semestinya kita memahami dien ini dengan istilah-istilah yang dibuat oleh para ulama, namun istilah-istilah tersebut tidak boleh sebagai hakim karena tetap harus merujuk kepada ketentuan dien, sehingga jika ada ketidaksesuaian antara istilah buatan ulama dengan ketentuan dien, ketentuan dien lah yang dimenangkan.

7. Iman kepada Allah mencakup empat hal.
Batasan minimal bagi seseorang dikatakan dia telah beriman kepada Allah adalah dengan meyakini empat hal berikut ini :

Iman tentang adanya Allah. Perkara ini diyakini oleh setiap makhluk. Adanya alam semesta ini pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena tidak mungkin seluruh alam semesta dan isinya terjadi dengan sendirinya.

Iman tentang rububiyah Allah. Yaitu meyakini, hanya Allah saja yang menciptakan, memiliki langit dan bumi, dan seluruh alam semesta beserta isinya, yang memberikan rezeki, mengatur alam semesta, menghidupkan dan mematikan dan lainnya.

Iman tentang uluhiyah Allah. Yaitu mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba. Dengan cara itu, manusia bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila hal itu disyari’atkan olehNya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja` (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), istighatsah (minta pertolongan saat mengalami kesulitan), isti’adzah (minta perlindungan), dan segala yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya, harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karenaNya. Ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah. Tauhid ini merupakan inti dakwah para rasul, dari rasul yang pertama sampai terakhir.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya “Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. [al Anbiya’ : 25].

Setiap rasul, memulai dakwahnya mengajak umat kepada tauhid uluhiyah, sebagaimana Nuh, Hud, Shalih dan Syu’aib. Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apa pun. Bila ibadah itu dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya terjatuh kepada syirkun akbar dan tidak diampuni dosanya.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. [an Nisa : 48 dan 116]

Tauhid Asma` wa Shifat. Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan atas diriNya, baik berkaitan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah; dan Ahlus Sunnah mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan RasulNya. Kita wajib menetapkan nama dan sifat Allah, sebagaimana yang terdapat di dalam al Qur`an dan as Sunnah, dan tidak boleh dita’wil (dirubah maknanya).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) berkata,”Manhaj Salaf dan para imam ahlus sunnah, mereka mengimani tauhid asma` wa shifat dengan menetapkan apa yang telah Allah tetapkan atas diriNya dan telah ditetapkan RasulNya untukNya, tanpa tahrif dan ta’thil, serta tanpa takyif dan tamtsil. Ahlus Sunnah menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua sifat Allah dan menafikan persamaan sifat Allah dengan makhluknya”. [Lihat penjelasannya di dalam Syarah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hlm. 94, Cet. II].
Firman Allah :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy Syuura : 11].

Lafazh ayat [لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ] (tidak ada yang serupa denganNya) merupakan bantahan kepada golongan yang menyamakan sifat-sifat Allah dengan makhlukNya. Sedangkan lafazh ayat [وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ] (dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat) sebagai bantahan kepada orang-orang yang menafikan atau mengingkari sifat-sifat Allah.

I’tiqad Ahlus Sunnah dalam masalah nama dan sifat Allah didasari atas dua prinsip. Pertama, bahwasanya Allah wajib disucikan dari semua sifat kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati dan lainnya. Kedua, Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna, tidak memiliki kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai sifat-sifat Allah. [Lihat Minhajus Sunnah (II/111,523), Tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim.]

8. Iman tentang adanya Malaikat.
Ahlus sunnah mengimani bahwasanya malaikat itu ada, malaikat adalah makhluk yang tidak berhak untuk diibadahi, malaikat diciptakan oleh Allah ta’ala dari cahaya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ

Diciptakan malaikat dari cahaya, diciptakan jin dari api yang menyala-nyala, dan diciptakan Adam dari apa yang disifatkan kepada kalian. [HR Muslim, no. 2996, 60].

Malaikat mempunyai sayap, sebagaimana Allah berfirman di awal surat Faathir. Dan jumlah malaikat sangat banyak, tidak ada yang mengetahui kecuali hanya Allah. Ada hadits yang menyatakan, bahwa Baitul Ma’mur di langit yang ke tujuh dimasuki setiap hari oleh 70.000 malaikat. Bila mereka keluar tidak kembali lagi ke situ. [HR Bukhari, no.3207 dan Muslim, no. 259].

Malaikat mendapat tugas bermacam-macam dari Allah. Mereka adalah makhluk yang tidak pernah berbuat maksiat kepada Allah, dan mereka selalu bertasbih kepada Allah.

Malaikat yang paling mulia adalah Jibril. Allah mensifatinya dengan sifat amanah dan suci sebagai rekomendasi yang agung dari Rabb Azza wa Jalla. Allah mensifatinya sebagai makhluk yang baik atau berakhlak mulia, memiliki keindahan bentuk, mempunyai kedudukan di sisi Allah. Dia adalah pemimpin para malaikat yang ditaati perintahnya di langit.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Malaikat Jibril dalam bentuk aslinya dua kali. Jibril memiliki 600 sayap yang setiap satu sayap darinya dapat menutup ufuk. Yang pertama pada tiga tahun setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, dan yang kedua pada malam Isra’ dan Mi’raj.

9. Iman kepada Kitab-kitab Yang diturunkan Allah kepada RasulNya
Ahlus Sunnah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada RasulNya.  Sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kitab-kitab Taurat, Injil, Zabur, Shuhuf Ibrahim dan Musa serta al Qur`an tersebut diturunkan oleh Allah dengan benar dan bukan makhluk.

Keistimewaan al Qur`an dari kitab-kitab lainnya :

Kita wajib mengimaninya secara rinci, membenarkan semua berita yang terdapat di dalamnya, melaksanakan perintahNya, menjauhkan laranganNya dan beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam al Qur`an dan as Sunnah.

Al Qur`an adalah mu’jizat yang abadi. Tidak ada seorang pun jin dan manusia yang mampu untuk membuat satu surat saja seperti al Qur’an [al Israa` : 88].

Allah menjamin untuk menjaga al Qur`an [al Hijr : 9].

Al Qur`an sebagai tolak ukur dari kitab-kitab sebelumnya. Dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas dari al Qur`an.

Al Qur`an adalah kalamullah bukan makhluk, berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan kembali kepadaNya; dan bahwasanya Allah berbicara secara hakiki.

10. Iman kepada rasul-rasul Allah.
Ahlus Sunnah beriman kepada rasul-rasul yang diutus Allah kepada setiap kaumnya. Yang dimaksud rasul adalah, orang yang diberi wahyu untuk disampaikan kepada umat. Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh, dan yang terakhir Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap umat tidak pernah kosong dari nabi utusan Allah yang membawa syari’at khusus untuk kaumnya, atau dengan membawa syari’at sebelumnya yang diperbaharui.

Para rasul adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak mempunyai sedikit pun keistimewaan rububiyah maupun uluhiyah. Mereka juga tidak mengetahui perkara yang ghaib. Allah berfirman tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin para rasul dan paling tinggi derajatnya di sisi Allah.

قُل لَّا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah : “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. [al A’raaf : 188].

Iman kepada Rasul mengandung empat unsur :

Mengimani bahwa risalah mereka benar-benar dari Allah. Barangsiapa mengingkari risalah mereka, walaupun hanya seorang, maka menurut pendapat seluruh ulama, ia dikatakan kafir, sebagaimana firman Allah dalam surat Asy Syu’araa’ ayat 105.

Mengimani nama-nama rasul yang sudah kita kenali, yang Allah sebutkan di dalam al Qur`an dan as Sunnah yang shahih. Jumlah nabi dan rasul sangat banyak. Menurut riwayat, jumlah nabi ada 124.000 dan jumlah rasul ada 315. Adapun yang terkenal adalah 25 rasul.[Ahmad (V/178,179), Ibnu Hibban (no. 94) dan al Hakim (II/262). Lihat Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khiril ‘Ibaad (I/43-44) dan Silsilah al Ahaadits ash Shahiihah, no. 2668.]

Allah menyebutkan tentang para nabi dan rasul di dalam al Qur`an ada 25. Yaitu Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Syu’aib, Ayyub, Dzulkifli, Musa, Harun, Dawud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa dan Muhammad. Lihat surat al Imran ayat 33, Hud ayat 50, 61, 84, al Anbiya ayat 85, al An’aam ayat 83-86 dan al Fath ayat 29.

Adapun para rasul yang tidak diketahui namanya, maka wajib bagi kita mengimani secara global. Allah berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ مِنْهُم مَّن قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُم مَّن لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ

Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu, dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu… [al Mu’min : 78]

Membenarkan berita-berita mereka yang shahih riwayatnya.

Mengamalkan syari’at Rasul yang diutus kepada kita. Beliau adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus Allah kepada seluruh manusia dan penutup para nabi. Allah berfirman :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabb-mu, maka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya. [an Nisaa` : 65].

11. Iman kepada Yaumul Akhir (hari kiamat).
Yaitu mengimani yang dikabarkan atau disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peristiwa yang terjadi setelah kematian, peristiwa dan tanda-tanda akhir zaman, kejadian-kejadian di hari kiamat hingga dimasukkannya manusia ke Surga atau ke Neraka.

Di antara peristiwa setelah kematian : fitnah kubur, adzab kubur, nikmat kubur.

Diantara peristiwa dihari kiamat dan setelahnya : ditiupnya sangkakala, dikembalikannya ruh kepada jasadnya, dibangkitkannya manusia dari kubur untuk menghadap Allah rabbul ‘alamin, dikumpulkannya manusia di Padang Mahsyar dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berpakaian, dan tidak berkhitan, didekatkannya matahari, ditegakkannya timbangan, dibukanya catatan-catatan amal, adanya hisab, al Haudh (telaga), shirath (jembatan), syafa’at, Surga dan Neraka.

12. Beberapa Tanda-Tanda Hari Kiamat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini menyebutkan dua tanda. Di antara tanda-tanda telah dekatnya hari Kiamat, yaitu :

a. Apabila budak wanita melahirkan tuannya. Para ulama memiliki beberapa penafsiran terhadap pengertian ini, antara lain:

Ada yang berpendapat, banyaknya anak yang durhaka. Yaitu seorang anak memperlakukan ibunya sebagaimana perlakuan tuan terhadap budak wanitanya. Pendapat inilah yang dipegang oleh Ibnu Hajar.

Ibnu Rajab berkata,”Ini sebagai isyarat atas pembukaan negeri (kaum Mukminin mengalahkan negeri-negeri kafir) dan banyaknya perbudakan, sehingga banyak budak wanita yang dijadikan gundik dan anak mereka pun menjadi banyak. Maka jadilah budak wanita sebagai budak pemiliknya, dan anak tuannya dari budak wanita itu berkedudukan seperti tuannya. Karena anak majikan berkedudukan sebagai majikan”.

Sebagian ulama mengambil pendapat yang mengatakan bahwa ibu si anak itu dapat merdeka dengan kematian tuannya. Seolah-olah, anaknyalah yang memerdekakannya, maka pembebasan itu dinisbatkan kepada anak tersebut. Dengan hal tersebut, jadilah si anak seolah-olah sebagai majikannya.

b. Sehingga engkau melihat orang yang fakir, telanjang badan dan kaki sebagai penggembala kambing berlomba-lomba untuk meninggikan bangunan. Maksudnya, orang-orang dari kalangan rakyat jelata (orang bodoh) menjadi para pemimpin. Harta mereka pun banyak. Mereka mendirikan bangunan yang tinggi sebagai kebanggaan dan kesombongan tehadap hamba-hamba Allah.

13. Iman kepada Qadh dan Qadar.
Qadha adalah hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala yang azali (telah ada) sebelum diciptakannya sesuatu atau ketiadaannya. Qadar adalah penciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segala sesuatu dengan suatu cara, dan di waktu yang khusus. Dan terkadang keduanya dimutlakkan kepada yang lainnya. Iman kepada takdir dibangun dari dua hal, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama:

At tashdiq (pembenaran). Bahwasanya ilmu Allah mendahului apa yang diperbuat oleh para hambaNya, berupa kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan sebelum mereka diciptakan. Dan Allah telah mencatat semuanya itu di dalam Lauhil Mahfuzh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ

Allah telah menulis takdir seluruh makhlukNya lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.

Seluruh amal perbuatan mereka pasti sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan berjalan menurut apa yang telah diketahui oleh ilmuNya. Firqah Qadariyyah yang ekstrim telah menafikan hal ini (ilmu Allah). Di antara tokohnya, yaitu : Ma’bad al Juhani, Amr bin Ubaid dan selain mereka. Mereka telah menyelisihi pendapat Salaful Ummah, sehingga mereka pun tersesat dari jalan yang lurus. Imam Ahmad, asy Syafi’i dan selain mereka berpendapat tentang kafirnya orang-orang yang mengingkari ilmu Allah yang qadim (terdahulu).

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menciptakan seluruh perbuatan hambaNya berupa berkurangnya iman, ketaatan dan kemaksiatan, dan menutupkannya di antara mereka dengan kehendaknya.

Iman kepada qadha dan qadar ada empat tingkatan:

Al Ilmu. Yaitu, mengimani bahwa Allah dengan ilmuNya, yang merupakan sifatNya yang azali dan abadi, telah mengetahui segala amal perbuatan makhlukNya, serta mengetahui segala ihwal mereka, seperti taat, maksiat, rizki, ajal, bahagia, dan celaka.

Al Kitaabah. Bahwa Allah telah mencatat di Lauh Mahfuz seluruh takdir makhluk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أوّلُ مَا خَلَقَ اللهُ القَلَمَ قَالَ لَهُ اُكْتُبْ قَالَ:مَا أَكْتُبُ ؟ قَالَ : اُكْتُبْ مَاهُوَ كَائِنٌ إِلَى يَومِ القِيامَةِ

Pertama kali yang diciptakan Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman kepadanya: “Tulislah,” (maka) ia menjawab,”Apa yang harus aku tulis?” Allah berfirman,”Tulislah semua yang terjadi sampai hari Kiamat!” [HR Ibnu Ashim di dalam as Sunnah, no. 103; Ahmad V/317] [7].

Sebagaimana juga Allah berfirman:

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. [al Hajj : 70].

Al Masyi’ah. Yaitu, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Sebaliknya, apa yang tidak dikehendakiNya, tidak akan terjadi. Semua gerak-gerik yang terjadi di langit dan di bumi hanyalah dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada sesuatu yang terjadi di dalam kerajaanNya apa yang tidak diinginkanNya.

Al Khalq. Yaitu, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, baik yang ada maupun yang belum ada. Karena itu, tidak ada satupun makhluk di bumi atau di langit, melainkan Allah-lah yang menciptakannya, tiada pencipta selain Dia, tiada Ilah melainkan hanya Allah saja. Sebagaimana firmanNya:

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. [az Zumar : 62].

Dengan demikian, hendaknya bagi orang yang membahas nash-nash tentang qadha dan qadar agar memperhatikan hal-hal berikut, sehingga selamat dari penyimpangan terhadap rukun ini :

a. Membedakan antara sifat Allah dengan sifat makhlukNya.
Pembedaan antara ilmu Allah Azza wa Jalla dan ilmu manusia haruslah dilakukan. Sifat ini harus ditetapkan untuk Allah dengan bentuk yang paling sempurna.

Seluruh sifat Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah sempurna, tidak dicampuri kelemahan, kekurangan, tidak juga keterpaksaan. Sebagaimana yang menimpa pada kekuasaan dan kehendak makhluk, yakni kehendak makhluk memiliki keterbatasan, serba kurang, dan dikuasai.

b. Mensucikan Allah Azza wa Jalla dari berbagai sifat yang kurang.
Wajib bagi para hamba untuk mensucikan Rabb dari kesia-siaan, kejahilan, kezhaliman dan selainnya dari berbagai kekurangan.

c. Penelitian atau pembahasan yang menyeluruh terhadap nash-nash al Kitab dan as Sunnah, serta keluar dengan satu hukum setelahnya. Hal ini sudah seharusnya dilakukan pada setiap permasalahan agama, mengumpulkan nash-nash tentang suatu permasalahan, kemudian bersungguh-sungguh dalam memahaminya, sesudah itu baru kemudian mengeluarkan satu hukum.

d. Allah Azza wa Jalla tidak ditanya tentang apa yang dilakukanNya. Sebagaiman firmanNya :

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ

Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan ditanyai. [al Anbiyaa` : 23]

e. Hendaklah memiliki pengetahuan, bahwasanya seorang hamba diberi beban untuk melakukan berbagai sebab. Adapun hasilnya berada di tangan Allah.

14. Etika bertanya.
Seorang muslim akan menanyakan sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya. Dia tidak akan menanyakan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat. Bagi orang yang menghadiri sebuah majelis ilmu, lalu ia melihat orang-orang yang hadir disitu ingin mengetahui satu hal, dan ternyata masalah tersebut belum ada yang menanyakan, maka sepatutnya ia menanyakan, meskipun ia sudah mengetahuinya agar orang-orang yang hadir bisa mengambil manfaat dari jawaban yang diberikan.

Orang yang ditanya tentang suatu hal, dan ia tidak mengetahui jawabannya, hendaklah ia mengakui ketidaktahuannya, agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak ia ketahui.

15. Metode tanya-jawab.
Pendidikan modern pun mengakui, bahwa metode tanya-jawab merupakan metode pendidikan yang relatif berhasil, karena memberikan tambahan semangat pada diri pendengar untuk mengetahui jawaban yang diberikan. Metode ini sering dipergunakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendidik generasi sahabat Radhiyallahu ‘anhum.

Fawaid Hadits Jibril

 Bid’ah tentang penafian qadar timbul di Basrah pada masa sahabat, dengan tokohnya yang bernama Ma’bad al Juhani.

Kembalinya tabi’in kepada sahabat dalam mengetahui masalah agama, baik dalam masalah aqidah atau yang lainnya.

Wajib atas setiap muslim untuk bertanya tentang masalah agama kepada ulama. [an Nahl ayat 43].

Disunnahkan bagi jama’ah haji dan umrah memanfaatkan kepergian mereka ke Mekkah dan Madinah untuk belajar agama dan bertanya kepada ulama.

Setan menyesatkan manusia dengan dua jalan. Pertama, setan menyesatkan orang yang lalai dari ketaatan kepada Allah dihiasi dengan syahwat. Kedua, setan menyesatkan orang yang taat kepada Allah dihiasi dengan syubhat.

Obat dari syubhat dan syahwat adalah kembali kepada al Qur`an dan as Sunnah dengan pemahaman Salaf.

Menunjukkan disunahkannya memakai pakaian yang bersih dan memakai wangi-wangian ketika berada di majelis ilmu dan bertemu dengan ulama dan penguasa.

Sesungguhnya orang yang berilmu, apabila ia ditanya tentang sesuatu dan dia belum mengetahuinya, hendaklah ia mengatakan “aku tidak mengetahuinya”. Hal ini tidaklah mengurangi kedudukannya.

Ucapan “Allahu a’lam” (Allah yang mengetahui) dan “la adri” (aku tidak tahu) adalah separuh dari ilmu.

Definisi Islam yang benar adalah, tunduk patuh kepada Allah dengan tauhid, melaksanakan ketaatan dan membebaskan diri dari syirik.

Kewajiban pertama kali atas muallaf, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat; bersaksi tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan hanya Allah.

Penjelasan tentang Rukun Islam yang lima. Hadits ini menerangkan, Islam adalah amal-amal anggota badan, berupa perkataan dan perbuatan.

Iman adalah perkataan dan perbuatan. Iman, menurut Ahlus Sunnah adalah perkataan dengan lisan, meyakini dengan hati, melaksanakan dengan anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan dosa dan maksiat.

Penjelasan tentang rukun iman yang enam.

Tauhid ada tiga : Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyyah, dan Tauhid Asmaa` wa Shifat.

Iman kepada qadar baik dan buruk. Apa yang Allah takdirkan kepada kita, itu yang terbaik untuk kita.

Tidak boleh menisbatkan kejelekan kepada Allah.

Penjelasan tentang ihsan.

Tanda-tanda kiamat, yaitu kiamat kecil.

Hadits ini menunjukkan haramnya durhaka kepada orang tua.

Hadits ini menunjukkan salah satu cara dari cara-cara pembelajaran, yaitu metode tanya-jawab.

Hadits ini menunjukkan bahwa malaikat dapat merubah bentuk menyerupai manusia. Hal tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil dari al Qur`an.

Dimakruhkan membangun dan meninggikan bangunan selama tidak untuk keperluan yang sangat mendesak.

Hadits ini menerangkan tentang adab-adab duduk atau bermajelis dalam majelis ilmu, yaitu ditunjukkan Jibril duduk dekat dengan Rasulullah n . Beginilah yang seharusnya dilakukan oleh penuntut ilmu, sehingga ia dapat mengambil ilmu dengan seksama dan mengambil hujjah dari lisan-lisan para ulama.

Tidak ada seorang pun yang mengetahui waktu terjadinya kiamat. [Lihat QS Luqman ayat 34, al Ahzab ayat 63].

Di dalam hadits ini terdapat dalil, sesuatu hal yang ghaib tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Azza wa Jalla semata.


sumber :
http://tigalandasanutama.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More